Fajar atau Senja?
Aku
sedang menikmati bekal makan siangku di meja kelas nomor dua dari depan. Aku
lihat jam dinding di belakang ruang kelas Bahasa Jepang ini, hampir setengah
dua. Hanya ada 5 menit tersisa, segera ku kebut makanan yang masih tersisa di
dalam kotak makanku. Akhirnya bel berbunyi tepat saat aku telah memasukkan
kotak makanku ke dalam tas.
Aku mengajak teman sebangkuku ke
kamar mandi sebentar untuk mencuci tangan. Ia seorang perempuan berkacamata
yang sangat polos. Namun kecerdasannya tak perlu diragukan. Rambutnya selalu ia
kuncir satu di belakang dengan poni melengkung tepat di atas alisnya. Kalau
sudah begitu, orang awam mungkin akan mengira kalau ia keturunan Chinesse, padahal ia asli perempuan
Jawa. Namanya saja Ismandayu. Biasanya ia dipanggil Manda.
Saat aku dan Manda kembali ke kelas,
meja guru masih tetap kosong. Tak seperti
biasanya datang terlambat, batinku. Aku duduk di bangkuku dan
mengeluarkan buku materi Jepang, Shinkansen
seri 1. Ku lirik sekilas teman sebangkuku. Ia hanya duduk sambil menikmati
makanan ringan yang ia beli saat istirahat tadi.
“Karen,” Manda menepuk pundak
kiriku. Sudah jadi hal biasa kalau tiba-tiba ia memanggilku seperti itu.
“Ya? Ada apa?”
“Apa kau suka pelangi?” Aku juga tak
terlalu kaget kalau yang ia tanyakan tak ada sangkutpautnya dengan pelajaran.
“Tak terlalu. Kenapa kau tiba-tiba
tanya begitu?”
“Tak ada alasan. Kenapa kau tak
terlalu suka? Bukankah pelangi itu indah? Tidak membosankan. Warnanya juga
mengesankan,” ia menjelaskan sambil tetap mengunyah makanan ringan di
tangannya.
“Memang. Pelangi menyuguhkan
keindahan yang tak bisa begitu saja dilupakan. Tapi, pelangi itu hanya
sebentar. Indah tapi semu.”
Kata-kataku baru saja seperti
memberikan sedikit efek kejut pada dirinya. Tiba-tiba ia berhenti mengunyah. Mengatur diri untuk tidak menunjukkan
kejanggalan sedikitpun, namun usahanya gagal.
“Kau benar juga,” ia sudah mulai
bisa menguasai diri, “bagaimana kalau matahari? Apa kau suka?”
“Tentu saja. Tanpa matahari,
kehidupan di bumi tak akan berlangsung. Matahari sudah menjadi semacam sumber
kehidupan.”
“Kalau begitu, sama. Aku juga
mengidolakan matahari. Sosok seperti matahari. Yang mampu memancarkan cahaya
sendiri. Untuk menghidupi berbagai kehidupan di alam semesta. Luar biasa.” Ia
mengatakannya dengan penuh kekaguman.
“Begitulah.” Aku tersenyum tanda
setuju.
“Tapi, matahari juga tidak seharian
penuh menyinari bumi. Ada waktu saat bulan membayangi sinarnya. Kemudian
matahari muncul lagi dengan sempurna.”
“Lalu?” aku benar-benar bingung apa
maksudnya. Abstrak.
“Mana yang membuatmu lebih tertarik?
Saat matahari muncul atau saat tenggelam? Fajar atau Senja?”
“Aku lebih menyukai fajar.”
“Apa alasanmu?” Manda terheran-heran
mendengar jawaban spontanku.
“Saat fajar, sang mentari hadir
kembali dengan membawa kedamaian. Mengawali harimu dengan kehangatan yang bisa
memberimu semangat memulai hari. Saat yang paling dinantikan,” aku tersenyum
membayangkan saat pagi datang dengan suara ayam berkokok menyambutnya, “kalau
kau?”
“Aku lebih menyukai senja.”
“Apa alasanmu?” sekarang giliran aku
bertanya kepadanya.