Sabtu, 20 Februari 2016

Sel saraf tertentu dari hipotalamus menyekresikan hormon; ini disebut neurosekresi. Hormon yang disintesis dalam sel saraf tidak dilepaskan ke dalam celah sinaps seperti substansi-sustansi perantara, tetapi langsung masuk ke dalam darah. (Despopoulos, 1998)
            Sel saraf neurosekresi dari hipotalamus bagian medial menyintesis beberapa hormon. ADH atau vasopresin dan RH (Releasing Hormone). ADH dibawa ke hipofisis lobus posterior sedangkan RH dibawa ke hipofisis lobus anterior. Salah satu Releasing Hormone adalah CRH (Corticotropin Releasing Hormone) dari hipotalamus menuju hipofisis anterior melalui kapiler hypophyseal portal venous plexus. (Black, 1998; Despopoulos, 1998)

            CRH dari hipotalamus menginduksi proopiomelanocortin untuk membentuk TH (Tropin Hormone) yang sesuai dari hipofisis lobus anterior. Yang berperan dalam respon stres secara umum yaitu ACTH (Adrenocorticotropin Hormone).  ACTH kemudian menstimulasi korteks adrenal sebagai kelenjar target untuk meningkatkan produksi glukokortikoid. Hormon akhir dari HPA axis ini adalah kortisol. (Black, 1998; Despopoulos, 1998)

            Di dalam HPA axis ini sebenarnya juga terjadi pengaturan umpan balik hormon. Umpan balik adalah keadaan yang merupakan respon terhadap suatu sinyal. Pada umpan balik positif (jarang) rangsang diperkuat oleh sinyal. Hal ini menyebabkan respons yang berikutnya menjadi lebih besar, yang menghasilkan suatu rangsangan yang tetap lebih besar. Sedangkan pada umpan balim negatif, rangsang diturunkan oleh respon. Seperti kebanyakan mekanisme pengaturan lainnya pada organisme. Kerja hormon kebanyakan diutamakan untuk umpan balik negatif. (Despopoulos, 1998)

Releasing Hormone dari hipotalamus (misalnya CRH) menyeabkan pelepasan Tropic Hormone yang sesuai dari hipofisis lobus anterior (misalnya ACTH), kemudian ACTH mempengaruhi kelenjar endokrin di perifer (korteks adrenal). Hormon akhir ini (sebagai contoh, kortisol) tidak hanya bekerja oada sel target, tetapi juga menghambat sekresi RH di hipotalamus, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan jumlah hormon akhir itu sendiri. Penghambatan sekresi RH dan hormon akhir dikurangi dengan cara ini dan seterusnya. (Despopoulos, 1998)
Pada kondisi stres kronis, kinerja HPA axis akan meningkat dan sebagai dampak, kadar glukokortikoid menjadi tinggi. Pada beberapa penelitian imunologis, glukokortikoid memberikan dampak pada keseimbangan sel-sel imun. Hal ini dikarenakan pada permukaan sel-sel imun (sebagai contoh, limfosit) terdapat reseptor glukokortikoid. Glukokortikoid yang berikatan dengan reseptor pada sel limfosit akan menghambat aktivasi dari gen sehingga akan mengganggu produksi sitokin yang dihasilkan sel limfosit. Sitokin adalah protein yang dibuat oleh sel-sel yang mempengaruhi sel-sel lain. Dapat dikatakan sitokin merupakan mediator komunikasi pengatur imunitas. Terganggunya produksi sitokin sel limfosit mengakibatkan kekacauan sistem imun. Memang mekanisme ini belum jelas benar sehingga masih terjadi kontroversi mengenai pengaruh hormon glukokortikoid ini. Namun glukokortikoid diketahui menghambat IL-2, IF-, dan IL-12. (Gunawan, 2007; Wardhana, 2012)

DAFTAR PUSTAKA
   Black, Paul. 1994. Minireviews Central Nervous System-Immune System Interactions: Psychoneuroendocrinology of Stress and Its Immune Consequences. Vol. 38, No. 1 American Society for Microbiology
       Despopoulos, Agamemnon dan Stefan Silbernagl. 1998. Atlas Berwarna dan Teks Fisiologi Ed. 4 rev. Alih bahasa: Yurita Handojo. Jakarta: Hipokrates
     Gunawan, Bambang dan Sumadiono. 2007. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi, Jurnal Pendidikan Profesi FK UGM Yogyakarta
    Wardhana, Made. 2012. Psikoneuroimunologi di Bidang Dermatologi, Jurnal Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNUD Denpasar

Nakhita Adiantum . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates