Kamis, 16 Mei 2013




Aku sedang menikmati bekal makan siangku di meja kelas nomor dua dari depan. Aku lihat jam dinding di belakang ruang kelas Bahasa Jepang ini, hampir setengah dua. Hanya ada 5 menit tersisa, segera ku kebut makanan yang masih tersisa di dalam kotak makanku. Akhirnya bel berbunyi tepat saat aku telah memasukkan kotak makanku ke dalam tas.
            Aku mengajak teman sebangkuku ke kamar mandi sebentar untuk mencuci tangan. Ia seorang perempuan berkacamata yang sangat polos. Namun kecerdasannya tak perlu diragukan. Rambutnya selalu ia kuncir satu di belakang dengan poni melengkung tepat di atas alisnya. Kalau sudah begitu, orang awam mungkin akan mengira kalau ia keturunan Chinesse, padahal ia asli perempuan Jawa. Namanya saja Ismandayu. Biasanya ia dipanggil Manda.
            Saat aku dan Manda kembali ke kelas, meja guru masih tetap kosong. Tak seperti  biasanya datang terlambat, batinku. Aku duduk di bangkuku dan mengeluarkan buku materi Jepang, Shinkansen seri 1. Ku lirik sekilas teman sebangkuku. Ia hanya duduk sambil menikmati makanan ringan yang ia beli saat istirahat tadi.
            “Karen,” Manda menepuk pundak kiriku. Sudah jadi hal biasa kalau tiba-tiba ia memanggilku seperti itu.
            “Ya? Ada apa?”
            “Apa kau suka pelangi?” Aku juga tak terlalu kaget kalau yang ia tanyakan tak ada sangkutpautnya dengan pelajaran.
            “Tak terlalu. Kenapa kau tiba-tiba tanya begitu?”
            “Tak ada alasan. Kenapa kau tak terlalu suka? Bukankah pelangi itu indah? Tidak membosankan. Warnanya juga mengesankan,” ia menjelaskan sambil tetap mengunyah makanan ringan di tangannya.
            “Memang. Pelangi menyuguhkan keindahan yang tak bisa begitu saja dilupakan. Tapi, pelangi itu hanya sebentar. Indah tapi semu.”
            Kata-kataku baru saja seperti memberikan sedikit efek kejut pada dirinya. Tiba-tiba ia berhenti mengunyah.  Mengatur diri untuk tidak menunjukkan kejanggalan sedikitpun, namun usahanya gagal.
            “Kau benar juga,” ia sudah mulai bisa menguasai diri, “bagaimana kalau matahari? Apa kau suka?”
            “Tentu saja. Tanpa matahari, kehidupan di bumi tak akan berlangsung. Matahari sudah menjadi semacam sumber kehidupan.”
            “Kalau begitu, sama. Aku juga mengidolakan matahari. Sosok seperti matahari. Yang mampu memancarkan cahaya sendiri. Untuk menghidupi berbagai kehidupan di alam semesta. Luar biasa.” Ia mengatakannya dengan penuh kekaguman.
            “Begitulah.” Aku tersenyum tanda setuju.
            “Tapi, matahari juga tidak seharian penuh menyinari bumi. Ada waktu saat bulan membayangi sinarnya. Kemudian matahari muncul lagi dengan sempurna.”
            “Lalu?” aku benar-benar bingung apa maksudnya. Abstrak.
            “Mana yang membuatmu lebih tertarik? Saat matahari muncul atau saat tenggelam? Fajar atau Senja?”
            “Aku lebih menyukai fajar.”
            “Apa alasanmu?” Manda terheran-heran mendengar jawaban spontanku.
            “Saat fajar, sang mentari hadir kembali dengan membawa kedamaian. Mengawali harimu dengan kehangatan yang bisa memberimu semangat memulai hari. Saat yang paling dinantikan,” aku tersenyum membayangkan saat pagi datang dengan suara ayam berkokok menyambutnya, “kalau kau?”
            “Aku lebih menyukai senja.”
            “Apa alasanmu?” sekarang giliran aku bertanya kepadanya.

            “Karena senja selalu mengakhiri hari dengan indah. Ibarat hari adalah sebuah kisah, senja adalah seorang yang datang dan membuat indah di akhir sebuah kisah. Siang yang terik itu anggap saja sebuah masalah, senja adalah ia yang ada untuk menyelesaikan masalah,” ia diam sejenak untuk mengambil nafas, “Itulah mengapa aku lebih menyukai saat senja daripada fajar. Fajar memang benar menyambut hari dengan kehangatan yang menenangkan, seperti katamu tadi, tapi setelah itu? Panas menggantikan hangatnya. Sedangkan senja sebaliknya. Ia mengakhirinya dengan kehangatan. ”
            Apa yang dikatakan Manda benar. Aku tidak bisa memberikan komentar apa-apa. Juga tidak memberikan respon postif tanda setuju. Aku terlalu, ah, rasanya seperti ada sesuatu yang menampar nuraniku. Nafasku perlahan menjadi lebih berat. Seolah oksigen di sekitarku hanya tinggal beberapa liter saja. Entah mengapa. Perkataan itu terasa begitu nyata.
            “Ya. Kau benar.” Aku mengatakannya dengan sangat pelan. Hampir seperti bisikan.
            “Hei. Kau kenapa? Apa ada yang salah dari yang aku ucapkan baru saja? Apa kau baik-baik saja?” Manda terlihat sedikit khawatir. Ah, aku gagal mengontrol diri sendiri. Apa yang harus aku jawab? Aku juga tidak tau pasti apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku juga tidak tau pasti apa yang membuat nafasku lebih berat.
            Manda terus mendesakku untuk menjawabnya, “What’s going on?”
            Aku hanya diam, enggan untuk berkomentar.
            Konnichiwa.
Osoku nate sumimasen. Maaf saya datang terlambat. Masih ada rapat.”
Syukurlah, tiba-tiba Sensei Jenny sudah datang. Teman-temanku yang lain segera kembali ke tempat duduk masing-masing. Manda juga membetulkan posisi duduknya. Dalam hati aku bersyukur, aku tidak perlu berbohong untuk berkata ‘aku baik-baik saja’.

Nakhita Adiantum . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates