Masa Lalu menyapa
“Lain kali
jangan datang terlambat lagi. Lalu jangan buat aku menunggu terlalu lama di
rumahmu. Kalau kau terlalu lama, aku tinggal saja.” Temanku masih tetap
menggerutu. “Lihat, kita sudah kehabisan tempat duduk.” Aku dan temanku
berhenti sejenak di ambang pintu sebuah ruang seminar. Kami menyapu rungan
berkarpet warna hijau tersebut. Benar saja, sudah banyak teman kami lainnya
yang telah mendapat kursi. Hanya tinggal satu bangku kosong di sebelah kanan
tengah.
“Iya, maafkan aku. Itu masih ada
satu bangku kosong, setidaknya cukup untuk kita.” Aku menunjuk ‘bangku kosong’
tersebut dan mengajak untuk segera menempatinya.
Bangku di ruangan ini memang sengaja
dibuat untuk bertiga. Bangku yang tadi aku anggap kosong sebenarnya sudah ada
penghuninya, satu orang. Namun 2 sisanya masih kosong. Aku dan temanku—namanya
Anindya—sedikit mempercepat langkah agar tidak kehilangan 2 tempat duduk kosong
tersebut. Oh ternyata ada seorang lelaki yang sedang duduk di sana.
“Permisi. Apa saya boleh duduk di
sini?” Aku meminta izin terlebih dahulu. Bagaimanapun dia yang lebih dulu
mendapatkan bangku ini, mungkin dia sedang menunggu temannya? Atau kursi
satunya untuk teman dari temannya? Nah, jadi aku pikir tidak ada salahnya
meminta izin.
Dia mendongak dari
keasyikannya—mematut di depan handphone.
“Oh, hai. Silahkan.” Kemudian ia menunduk lagi.
Oh God. Kenapa harus dia?
Lelaki ini, beberapa bulan lalu aku mengaguminya—sosok yang sekarang duduk dengan
acuh tak acuh. Beberapa bulan lalu, ia menjadi semangat dalam setiap hariku.
Dia, entah bagaimana, diam-diam berhasil membuatku takluk, luluh. Dia yang saat
itu juga mengatakan kalau ia mengagumiku. Namun, dia juga yang akhirnya
menghancurkan asaku. Bagaimana tidak? Ternyata dia hanya memberikan harapan
kosong. Dan sekarang, dia sudah bersama yang lain di luar sana. Ya, apa boleh
buat? Aku tidak punya hak untuk protes. Kalau boleh dan kalau bisa, sungguh aku
ingin membencinya saja. Bukan malah.... Sial! Ah, lupakan saja.
“Hei.” Sebuah tangan menepukku dari
belakang. “Ayo duduk. Cepatlah!”
“Kau dulu saja yang duduk.” Aku
melirik ke arah lelaki yang sudah asyik dengan handponenya lagi. “Ayo tolong
bantu aku sekali ini saja.” Aku mengatakannya sambil berbisik.
“Ya Tuhan! Bagaimana bisa? Kebetulan
yang tidak mengenakkan.”
“Please....”
Aku tetap memohon.
“Tidak.” Anin mengacungkan
telunjuknya sambil bergeleng. “Anggap saja itu hukuman dari datang terlambat.”
“Yah. Baiklah.” Aku mengalah dan
duduk di tengah.
Aku
menyimak seminar dengan tidak bersemangat. Yah untung saja—atau mungkin
sialnya—aku datang terlambat, jadi seminar tinggal bagian intinya. Dan tak
berapa lama, seminar usai. Anin beranjak dari tempat duduknya dan
meninggalkanku begitu saja. Ia maju ke depan dan berebut buku gratis. Ah iya,
dia kutu buku. Dan lelaki di samping kananku sudah pergi entah kemana.
Syukurlah. Tinggal aku sendiri yang masih duduk di bangku ini.
Aku
mengalihkan pandangan menuju jendela di sebelah kiri yang berkaca bening. Banyak
orang berlalu lalang di luar sana. Aku terkesiap saat melihat seorang lelaki
yang sudah lama ku kenal berjalan melalui jendela dan sekarang berdiri
menatapku di ambang pintu. Ia memakai kemeja warna coklat dengan celana warna senada.
Raut mukanya masih tetap sama, tak banyak berubah. Hanya saja, ia terlihat
lebih dewasa sekarang. Dia, mantan kekasihku. Aku segera beranjak dari tempat
duduk dan menghampirinya.
Rehan
memulai pembicaraan. “Hai Ira.”
“Hai.
Sedang apa kau di sini? Apa studimu sudah selesai?”
“Belum.
Kemarin aku baru pulang ke sini. Ada yang aku bicarakan dengan orang tuaku.”
Rehan tersenyum. “Acaranya sudah selesai? Mau pulang bareng?”
Apa?
Dia mengajakku pulang? Ah, tidak mungkin. Apa yang telah membuatnya seperti
ini? Sebelumnya, dia tidak pernah seperhatian ini saat aku dan dia sudah tidak
lagi menjadi ‘kita’. Bahkan dia sudah asyik dengan dunianya. Jadi aku pikir dia
sudah melupakan aku dan kenangan ‘kita’ dulu.
“Oh?
Boleh boleh.”
Rehan
mengajakku melewati jalan yang belum pernah aku lalui sebelumnya. Dan ia baru
berhenti di sebuah tanah berumput yang letaknya lebih tinggi dari lainnya. Hampir
menyerupai bukit kecil. Ada bangku kayu di bawah pohon yang cukup rindang. Dia
mempersilahkanku duduk di sampingnya. Tiba-tiba aku teringat saat aku duduk di
sampingnya untuk yang terakhir kalinya. Sudah lama sekali. Flashback.
“Bagaimana
kabarmu?” Rehan memulai pembicaraan lagi.
“Aku?
Aku baik di sini. Tentu saja. Kalau kau?” Aku mengalihkan pandanganku ke raut
mukanya. Ia sedang memandang jauh ke seberang sungai.
“Aku
baik juga.” Dia tersenyum. “Oh ya, aku boleh pinjam handphone sebentar?” Dia
menoleh kepadaku.
“Untuk
apa?”
“Tidak
ada. Tapi kalau kau keberatan, tidak apa-apa.” Dia buru-buru tersenyum untuk
menenangkan.
Aku membuka tas selempangku dan mengeluarkan
telepon genggam dari dompet. Aku mengulurkan tangan padanya. “Ini. Tapi ingat,
jangan sedot pulsanya. Awas saja kalau sampai habis.”
Dia
tertawa geli. Matanya setengah terpejam saat ia tertawa. “Tidak. Tenang saja.”
Kini
dia sibuk mengutak-atik telepon genggamku. Tangannya sibuk bergerak kesana
kemari, bersiul dan sesekali menampilkan keterkejutan kecil yang dibut-buat,
matanya melotot. Lucu. Sedangkan di sampingnya, aku dibiarkan duduk terdiam
sendirian bersama lamunan dan gemerisik air sungai. Jahat sekali. Dengan iseng,
aku mencari-cari getaran dalam diriku yang dulu pernah sangat hebat aku rasakan
saat bersamanya. Bedanya, aku tidak menemukan getaran sehebat itu sekarang.
Entah kemana perginya. Aku hanya menemukan getaran yang lemah. Setidaknya ada.
Tinggal puing-puing saja.
“Ira.”
“Ya,
Rehan? Ada apa?”
“Tidak
ada.” Dia mengembalikan handphoneku. “Terima kasih.”
Aku
hanya mengangguk pelan dan meraih tangannya.
Rehan
kini tersenyum di hadapanku dan menyelami mataku cukup lama. “Ternyata kau
sudah banyak berubah.”
“Maksudnya?
Aku benar-benar tidak tau.”
“Kau
yang sekarang sudah banyak bicara ya. Tidak seperti dulu yang hampir seperti
patung. Menjawab seperlunya. Selebihnya cuma diam.” Dia tertawa dengan
pandangan menerawang masa lalu.
“Kau
ini. Selalu saja. Tak berubah dari yang dulu.” Aku mencubit lengan kirinya dan ikut
tertawa bersamanya. Sudah lama sampai aku lupa kapan tepatnya terakhir kali aku
dan Rehan seakrab ini.
Namun
tiba-tiba senyumnya mendadak sirna. Ada kemendungan di matanya. Aku rasa ada
yang sedang ia sembunyikan.
“Bagaimana
kabarmu dengan Arif?”
Benar
saja! Pasti dia telah mengacak-acak pesan, batinku.
“Seperti
yang telah kau baca.” Aku mengalihkan pandangan ke persawahan di seberang
sungai. “Lelaki itu, dia mengecewakan.”
Ia
tersenyum kepadaku, mencoba untuk menenangkan. “Oh? Tapi setidaknya dia ada
untukmu. Saat aku terlalu jauh dalam jangkauan.”
“Iya.
Tapi ujungnya dia tetap mengecewakan.” Aku ikut tersenyum menghibur diri
dan mengibaskan tangan. “Kalau kau?
Bagaimana dengan Sofia?”
“Sudah
ku duga kau akan menanyakan ini.”
Aku
bisa melihat kilatan kesedihan di matanya. Suaranya juga sedikit bergetar yang
ia sembunyikan dengan berdehem.
“Maaf.”
“Tidak
apa-apa.” Dia tersenyum menghibur diriku—atau mungkin untuk dirinya sendiri.
“Sama sepertimu. Dia juga mengecewakanku.”
Aku
terdiam sejenak, tidak tau harus berkomentar apa. Bingung. Takut salah ucap.
“Mungkin
Sofia masih belajar menerimamu, Rehan.” Kataku
akhirnya.
Kriiiiiing kriiiiiing
kriiiiiiing kriiiiiiing
“Apa?!
Apa?! Astaga.” Aku terbangun. Terkejut dan gelagapan meraih benda yang sedang
berbunyi di atas meja. Membuka kelopak mata secara paksa dan meninggalkan jauh-jauh
mimpi indah tadi. Indah? Terserahlah mau menyebutnya apa. Oh? Ternyata benda
kecil ini yang berbunyi. Telepon genggam tipis warna oranye. Ternyata sudah
berjalan 15 menit. Pantas saja Timer ini
sudah menjerit-jerit.
Dengan
malas aku turun dari tempat tidur. Berjalan gontai menuju jendela besar di sisi
kiri. Menyapa hangatnya mentari pagi sebagaimana masa lalu menyapa lewat mimpi
baru saja. Apa kabar masa lalu? Sudah lama tidak bertemu. Semoga kau baik-baik
saja. Semoga bahagia selalu menyertaimu, juga aku di sini.