Kamis, 13 Juni 2013



“Lain kali jangan datang terlambat lagi. Lalu jangan buat aku menunggu terlalu lama di rumahmu. Kalau kau terlalu lama, aku tinggal saja.” Temanku masih tetap menggerutu. “Lihat, kita sudah kehabisan tempat duduk.” Aku dan temanku berhenti sejenak di ambang pintu sebuah ruang seminar. Kami menyapu rungan berkarpet warna hijau tersebut. Benar saja, sudah banyak teman kami lainnya yang telah mendapat kursi. Hanya tinggal satu bangku kosong di sebelah kanan tengah.
            “Iya, maafkan aku. Itu masih ada satu bangku kosong, setidaknya cukup untuk kita.” Aku menunjuk ‘bangku kosong’ tersebut dan mengajak untuk segera menempatinya.
            Bangku di ruangan ini memang sengaja dibuat untuk bertiga. Bangku yang tadi aku anggap kosong sebenarnya sudah ada penghuninya, satu orang. Namun 2 sisanya masih kosong. Aku dan temanku—namanya Anindya—sedikit mempercepat langkah agar tidak kehilangan 2 tempat duduk kosong tersebut. Oh ternyata ada seorang lelaki yang sedang duduk di sana.
            “Permisi. Apa saya boleh duduk di sini?” Aku meminta izin terlebih dahulu. Bagaimanapun dia yang lebih dulu mendapatkan bangku ini, mungkin dia sedang menunggu temannya? Atau kursi satunya untuk teman dari temannya? Nah, jadi aku pikir tidak ada salahnya meminta izin.
            Dia mendongak dari keasyikannya—mematut di depan handphone. “Oh, hai. Silahkan.” Kemudian ia menunduk lagi.
            Oh God. Kenapa harus dia? Lelaki ini, beberapa bulan lalu aku mengaguminya—sosok yang sekarang duduk dengan acuh tak acuh. Beberapa bulan lalu, ia menjadi semangat dalam setiap hariku. Dia, entah bagaimana, diam-diam berhasil membuatku takluk, luluh. Dia yang saat itu juga mengatakan kalau ia mengagumiku. Namun, dia juga yang akhirnya menghancurkan asaku. Bagaimana tidak? Ternyata dia hanya memberikan harapan kosong. Dan sekarang, dia sudah bersama yang lain di luar sana. Ya, apa boleh buat? Aku tidak punya hak untuk protes. Kalau boleh dan kalau bisa, sungguh aku ingin membencinya saja. Bukan malah.... Sial! Ah, lupakan saja.
            “Hei.” Sebuah tangan menepukku dari belakang. “Ayo duduk. Cepatlah!”
            “Kau dulu saja yang duduk.” Aku melirik ke arah lelaki yang sudah asyik dengan handponenya lagi. “Ayo tolong bantu aku sekali ini saja.” Aku mengatakannya sambil berbisik.
            “Ya Tuhan! Bagaimana bisa? Kebetulan yang tidak mengenakkan.”
            Please....” Aku tetap memohon.
            “Tidak.” Anin mengacungkan telunjuknya sambil bergeleng. “Anggap saja itu hukuman dari datang terlambat.”
            “Yah. Baiklah.” Aku mengalah dan duduk di tengah.
Aku menyimak seminar dengan tidak bersemangat. Yah untung saja—atau mungkin sialnya—aku datang terlambat, jadi seminar tinggal bagian intinya. Dan tak berapa lama, seminar usai. Anin beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkanku begitu saja. Ia maju ke depan dan berebut buku gratis. Ah iya, dia kutu buku. Dan lelaki di samping kananku sudah pergi entah kemana. Syukurlah. Tinggal aku sendiri yang masih duduk di bangku ini.
Aku mengalihkan pandangan menuju jendela di sebelah kiri yang berkaca bening. Banyak orang berlalu lalang di luar sana. Aku terkesiap saat melihat seorang lelaki yang sudah lama ku kenal berjalan melalui jendela dan sekarang berdiri menatapku di ambang pintu. Ia memakai kemeja warna coklat dengan celana warna senada. Raut mukanya masih tetap sama, tak banyak berubah. Hanya saja, ia terlihat lebih dewasa sekarang. Dia, mantan kekasihku. Aku segera beranjak dari tempat duduk dan menghampirinya.
Rehan memulai pembicaraan. “Hai Ira.”
“Hai. Sedang apa kau di sini? Apa studimu sudah selesai?”
“Belum. Kemarin aku baru pulang ke sini. Ada yang aku bicarakan dengan orang tuaku.” Rehan tersenyum. “Acaranya sudah selesai? Mau pulang bareng?”
Apa? Dia mengajakku pulang? Ah, tidak mungkin. Apa yang telah membuatnya seperti ini? Sebelumnya, dia tidak pernah seperhatian ini saat aku dan dia sudah tidak lagi menjadi ‘kita’. Bahkan dia sudah asyik dengan dunianya. Jadi aku pikir dia sudah melupakan aku dan kenangan ‘kita’ dulu.
“Oh? Boleh boleh.”
Rehan mengajakku melewati jalan yang belum pernah aku lalui sebelumnya. Dan ia baru berhenti di sebuah tanah berumput yang letaknya lebih tinggi dari lainnya. Hampir menyerupai bukit kecil. Ada bangku kayu di bawah pohon yang cukup rindang. Dia mempersilahkanku duduk di sampingnya. Tiba-tiba aku teringat saat aku duduk di sampingnya untuk yang terakhir kalinya. Sudah lama sekali. Flashback.
“Bagaimana kabarmu?” Rehan memulai pembicaraan lagi.

“Aku? Aku baik di sini. Tentu saja. Kalau kau?” Aku mengalihkan pandanganku ke raut mukanya. Ia sedang memandang jauh ke seberang sungai.
“Aku baik juga.” Dia tersenyum. “Oh ya, aku boleh pinjam handphone sebentar?” Dia menoleh kepadaku.
“Untuk apa?”
“Tidak ada. Tapi kalau kau keberatan, tidak apa-apa.” Dia buru-buru tersenyum untuk menenangkan.
Aku  membuka tas selempangku dan mengeluarkan telepon genggam dari dompet. Aku mengulurkan tangan padanya. “Ini. Tapi ingat, jangan sedot pulsanya. Awas saja kalau sampai habis.”
Dia tertawa geli. Matanya setengah terpejam saat ia tertawa. “Tidak. Tenang saja.”
Kini dia sibuk mengutak-atik telepon genggamku. Tangannya sibuk bergerak kesana kemari, bersiul dan sesekali menampilkan keterkejutan kecil yang dibut-buat, matanya melotot. Lucu. Sedangkan di sampingnya, aku dibiarkan duduk terdiam sendirian bersama lamunan dan gemerisik air sungai. Jahat sekali. Dengan iseng, aku mencari-cari getaran dalam diriku yang dulu pernah sangat hebat aku rasakan saat bersamanya. Bedanya, aku tidak menemukan getaran sehebat itu sekarang. Entah kemana perginya. Aku hanya menemukan getaran yang lemah. Setidaknya ada. Tinggal puing-puing saja.
“Ira.”
“Ya, Rehan? Ada apa?”
“Tidak ada.” Dia mengembalikan handphoneku. “Terima kasih.”
Aku hanya mengangguk pelan dan meraih tangannya.
Rehan kini tersenyum di hadapanku dan menyelami mataku cukup lama. “Ternyata kau sudah banyak berubah.”
“Maksudnya? Aku benar-benar tidak tau.”
“Kau yang sekarang sudah banyak bicara ya. Tidak seperti dulu yang hampir seperti patung. Menjawab seperlunya. Selebihnya cuma diam.” Dia tertawa dengan pandangan menerawang masa lalu.
“Kau ini. Selalu saja. Tak berubah dari yang dulu.” Aku mencubit lengan kirinya dan ikut tertawa bersamanya. Sudah lama sampai aku lupa kapan tepatnya terakhir kali aku dan Rehan seakrab ini.
Namun tiba-tiba senyumnya mendadak sirna. Ada kemendungan di matanya. Aku rasa ada yang sedang ia sembunyikan.
“Bagaimana kabarmu dengan Arif?”
Benar saja! Pasti dia telah mengacak-acak pesan, batinku.
“Seperti yang telah kau baca.” Aku mengalihkan pandangan ke persawahan di seberang sungai. “Lelaki itu, dia mengecewakan.”
Ia tersenyum kepadaku, mencoba untuk menenangkan. “Oh? Tapi setidaknya dia ada untukmu. Saat aku terlalu jauh dalam jangkauan.”
“Iya. Tapi ujungnya dia tetap mengecewakan.” Aku ikut tersenyum menghibur diri dan  mengibaskan tangan. “Kalau kau? Bagaimana dengan Sofia?”
“Sudah ku duga kau akan menanyakan ini.”
Aku bisa melihat kilatan kesedihan di matanya. Suaranya juga sedikit bergetar yang ia sembunyikan dengan berdehem.
“Maaf.”
“Tidak apa-apa.” Dia tersenyum menghibur diriku—atau mungkin untuk dirinya sendiri. “Sama sepertimu. Dia juga mengecewakanku.”
Aku terdiam sejenak, tidak tau harus berkomentar apa. Bingung. Takut salah ucap.
“Mungkin Sofia masih belajar menerimamu, Rehan.” Kataku  akhirnya.
Kriiiiiing  kriiiiiing  kriiiiiiing kriiiiiiing
“Apa?! Apa?! Astaga.” Aku terbangun. Terkejut dan gelagapan meraih benda yang sedang berbunyi di atas meja. Membuka kelopak mata secara paksa dan meninggalkan jauh-jauh mimpi indah tadi. Indah? Terserahlah mau menyebutnya apa. Oh? Ternyata benda kecil ini yang berbunyi. Telepon genggam tipis warna oranye. Ternyata sudah berjalan 15 menit.  Pantas saja Timer ini sudah menjerit-jerit.
Dengan malas aku turun dari tempat tidur. Berjalan gontai menuju jendela besar di sisi kiri. Menyapa hangatnya mentari pagi sebagaimana masa lalu menyapa lewat mimpi baru saja. Apa kabar masa lalu? Sudah lama tidak bertemu. Semoga kau baik-baik saja. Semoga bahagia selalu menyertaimu, juga aku di sini.

Nakhita Adiantum . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates