Cita, Cinta, dan Penantian
Claudia:
02 Februari 2008
Aku menyusuri jalanan kecil yang jauh dari hingar bingar perkotaan,
juga gemerlap lampunya. Membiarkan kendaraan ini meluncur dalam derasnya hujan.
Menembus pekatnya malam. Gelap, ketakutan, bimbang, dingin...
Jalanan semakin gelap saja. Kesunyian seolah mencekikku perlahan. Seperti
biasa, kunyalakan radio mungil untuk mencari sedikit hiburan. Tidak seberapa memang,
tapi cukup untuk meloloskan satu per satu jemari sunyi di leherku.
Jalanan memang tak pernah bersahabat denganku. Seperti segelas air
dengan setetes minyak, tak pernah menyatu. Lihat, kini jalanan bercabang menjadi
dua jalur yang kian sempit. Satu jalur yang begitu gelap, kumuh, memuakkan! Satu
lagi begitu kontras. Menarik dan unik. Aku melihat seberkas bayangan jatuh di
aspal yang hitam. Ah, akhirnya ku temukan cahaya seredup lilin.
Mobilku masih ingin berpetualang. Namun tidak mungkin aku melalui
kedua jalur itu dalam waktu yang bersamaan. Atau memutar kemudi pada jalanan
yang lebih besar, boulevard yang paling terkenal di negara Colosseum ini. Aku sudah
terlalu jauh mengemudi. Terlalu mustahil untuk kembali. Di sinilah titik dimana
aku harus memilih, aku sadar. Bimbang... tapi harus ada keputusan.
Dengan enggan ku pejamkan mata sejenak. Meresapi kejenuhan yang
tiada ujung. Perasaan bosan dalam kungkungan gelap dan sunyi menjalar hingga
ujung-ujung syaraf dendritku. Terlalu semangat menghembuskan nafas, hingga
terdengar seperti hentakan. 'Hhhh, aku ingin cahaya, seredup apapun itu', teriakku
dalam batin.
Ku pacu mobilku perlahan. Menyusuri jalur yang—aku pikir— begitu menarik.
Nampak luarnya memang tak ada beda, namun entahlah perasaan begitu saja
mengatakan jalur ini menarik. Semakin dalam, semakin terasa hangat, keremangan kian
menghilang, sampai akhirnya benar-benar hilang.
Dari kejahuan terlihat sebuah halte di sisi kiri jalan. Warnanya
biru laut, namun sudah kusam. Cat besinya sudah mulai mengelupas di sana sini.
Atapnya juga sudah mulai reot, mungkin termakan usia. Halte ini adalah satu
dari sekian halte yang terlewatkan dari perbaikan kota, mungkin? Entahlah.
Tunggu! Siapa dia? Aku melihat seorang lelaki berdiri memaku di
depan halte. Tingginya ku taksir sekitar 174 cm kalau saja ia tidak sedang
membungkuk seperti sekarang. Yah, selisih 6 cm dengan tinggiku. Matanya sayu,
tangannya melingkar di depan dada. Jaket wool yang membalut tubuhnya terlihat
sia-sia, tubuhnya tetap saja menggigil. Keadaannya seolah menceritakan sudah
lama ia bermandikan hujan, di bawah sorotan lampu kota.
Ku perlambat laju mobilku, kemudian berhenti tepat di depan lelaki
itu. Sedikit ada rasa was-was, karena ternyata aku belum pernah mengenalnya
sebelum ini. Aku menurunkan sedikit kaca mobil di sisi kiri. Penampilannya sungguh
berantakan. Ku taksir umurnya sekitar 2 atau 3 tahun di atasku. Entahlah apa
yang sedang ia lakukan di halte yang tidak bersahabat ini. Mungkin dia sedang
menunggu seseorang menawarinya tumpangan? Mungkin saja.
Si lelaki misterius itu kemudian mendongak. Mungkin suara mesin
mobil di tengah jalanan yang sunyi ini menyadarkannya dari lamunan. “Hai.”
sapanya dengan memaksakan sedikit lengkungan di ujung bibirnya. Aku membalas
senyumnya, namun kemudian ia menunduk lagi.
Ku matikan mesin mobilku, membuka pintu dan keluar. Kini aku berdiri
di sampingnya yang bermandikan hujan. “Buonasera, maestro. Apa yang
sedang Anda lakukan di sini?”