Rabu, 24 April 2013


Claudia:
02 Februari 2008
Aku menyusuri jalanan kecil yang jauh dari hingar bingar perkotaan, juga gemerlap lampunya. Membiarkan kendaraan ini meluncur dalam derasnya hujan. Menembus pekatnya malam. Gelap, ketakutan, bimbang, dingin...
Jalanan semakin gelap saja. Kesunyian seolah mencekikku perlahan. Seperti biasa, kunyalakan radio mungil untuk mencari sedikit hiburan. Tidak seberapa memang, tapi cukup untuk meloloskan satu per satu jemari sunyi di leherku.
Jalanan memang tak pernah bersahabat denganku. Seperti segelas air dengan setetes minyak, tak pernah menyatu. Lihat, kini jalanan bercabang menjadi dua jalur yang kian sempit. Satu jalur yang begitu gelap, kumuh, memuakkan! Satu lagi begitu kontras. Menarik dan unik. Aku melihat seberkas bayangan jatuh di aspal yang hitam. Ah, akhirnya ku temukan cahaya seredup lilin.
Mobilku masih ingin berpetualang. Namun tidak mungkin aku melalui kedua jalur itu dalam waktu yang bersamaan. Atau memutar kemudi pada jalanan yang lebih besar, boulevard yang paling terkenal di negara Colosseum ini. Aku sudah terlalu jauh mengemudi. Terlalu mustahil untuk kembali. Di sinilah titik dimana aku harus memilih, aku sadar. Bimbang... tapi harus ada keputusan.
Dengan enggan ku pejamkan mata sejenak. Meresapi kejenuhan yang tiada ujung. Perasaan bosan dalam kungkungan gelap dan sunyi menjalar hingga ujung-ujung syaraf dendritku. Terlalu semangat menghembuskan nafas, hingga terdengar seperti hentakan. 'Hhhh, aku ingin cahaya, seredup apapun itu', teriakku dalam batin.
Ku pacu mobilku perlahan. Menyusuri jalur yang—aku pikir— begitu menarik. Nampak luarnya memang tak ada beda, namun entahlah perasaan begitu saja mengatakan jalur ini menarik. Semakin dalam, semakin terasa hangat, keremangan kian menghilang, sampai akhirnya benar-benar hilang.
Dari kejahuan terlihat sebuah halte di sisi kiri jalan. Warnanya biru laut, namun sudah kusam. Cat besinya sudah mulai mengelupas di sana sini. Atapnya juga sudah mulai reot, mungkin termakan usia. Halte ini adalah satu dari sekian halte yang terlewatkan dari perbaikan kota, mungkin? Entahlah. 
Tunggu! Siapa dia? Aku melihat seorang lelaki berdiri memaku di depan halte. Tingginya ku taksir sekitar 174 cm kalau saja ia tidak sedang membungkuk seperti sekarang. Yah, selisih 6 cm dengan tinggiku. Matanya sayu, tangannya melingkar di depan dada. Jaket wool yang membalut tubuhnya terlihat sia-sia, tubuhnya tetap saja menggigil. Keadaannya seolah menceritakan sudah lama ia bermandikan hujan, di bawah sorotan lampu kota.
Ku perlambat laju mobilku, kemudian berhenti tepat di depan lelaki itu. Sedikit ada rasa was-was, karena ternyata aku belum pernah mengenalnya sebelum ini. Aku menurunkan sedikit kaca mobil di sisi kiri. Penampilannya sungguh berantakan. Ku taksir umurnya sekitar 2 atau 3 tahun di atasku. Entahlah apa yang sedang ia lakukan di halte yang tidak bersahabat ini. Mungkin dia sedang menunggu seseorang menawarinya tumpangan? Mungkin saja.
Si lelaki misterius itu kemudian mendongak. Mungkin suara mesin mobil di tengah jalanan yang sunyi ini menyadarkannya dari lamunan. “Hai.” sapanya dengan memaksakan sedikit lengkungan di ujung bibirnya. Aku membalas senyumnya, namun kemudian ia menunduk lagi.
Ku matikan mesin mobilku, membuka pintu dan keluar. Kini aku berdiri di sampingnya yang bermandikan hujan. “Buonasera, maestro. Apa yang sedang Anda lakukan di sini?”

Ia mendongak lagi, kemudian tersenyum. “Selamat malam,” matanya berkaca-kaca, “aku sudah menunggu lama di sini.”
“Menunggu lama? Apa maksudnya? Siapa? Aku benar-benar tidak mengerti, maestro.”
“Oh, astaga abaikan saja. Seharusnya kamu tidak perlu tau ini. Maaf pikiranku masih belum tertata,” dia tertawa canggung. Kemudian ia mengulurkan tangannya, “Ohya, kenalkan. Namaku Catereno.”
Aku menyambut uluran tangannya, “Namaku Claudia, maestro.”
“Pssh. Berhentilah memanggilku Tuan. Bukankah kau baru saja tau namaku? Panggil saja Reno”
“Ya ya ya. Terserahlah. Apa yang sedang kau lakukan di sini, Ren? Tidak berniat pulang? Kebetulan aku lewat sini sendirian.” aku menunjuk ke arah mobil sport warna unguku.
“Aku tadinya menunggu seseorang,” ia menunduk lagi, “namun mungkin ia tak akan melewati jalur sempit ini.”
“Oh. Mungkin dia masih tersesat?” aku diam sesaat, menyesali pertanyaan bodoh terlontar begitu saja, “ehm, kalau kau mau, ikut saja denganku. Aku tidak keberatan mengantarkanmu.”
“Bagaimana mungkin? Dia bukan pendatang baru di kota ini. Mungkin dia memang tidak berniat menghampiriku,” ia terdiam sejenak. Kemudian mendongak dengan senyum yang terlihat dipaksakan, “soal tawaranmu tadi. kalau kau tidak keberatan, bolehlah aku menumpang. Sebelumnya terima kasih. Ternyata masih ada saja yang peduli denganku.”
“Iya, santai saja Reno. Aku kebetulan lewat jalur ini. Jadi, kenapa tidak?” aku tersenyum kepadanya, “Ayo!”
“Claudia?”
“Ya, Ren?”
“Kalau kau tidak keberatan lagi. Izinkan aku saja yang mengemudikan mobilmu.” Ia tersenyum kepadaku.
“Hm? Baiklah. Lagipula aku juga tidak tau dimana rumahmu.” Aku membalas senyumnya.
Grazie. Terima Kasih.”
“Ya”
***

5 Maret 2008
Aku sedang melihat keluar jendela salah satu kafetaria di kantin kampus. Menikmati segelas moccachino¸ minuman favoritku di pagi hari. Sinar fajar mentari menerpa wajahku. Banyak temanku mengatakan, sebenarnya parasku tidak seberapa cantik namun memiliki kharisma yang kuat untuk menarik simpati orang lain. Entahlah apa alasan mereka. Padahal terkadang aku merasakan sebaliknya, orang-orang menatapku seperti orang aneh.
Aku mengeluarkan notebook kesayanganku dari Tas Domo-ku, dan meletakkannya di samping gelas kuning moccachino di depanku. Kemudian aku coba mengusir rasa bosan dengan iseng-iseng membuka situs pertemanan dunia maya. Ternyata ada email masuk, ada satu pengikut baru rupanya. Oh ternyata Catereno, darimana dia tau akunku? aku bertanya dalam hati.
Teringat tugas Kimia yang belum terselesaikan, akhirnya aku meninggalkan situs pertemanan itu. Ada 20 soal yang belum terselesaikan. Keduapuluhnya merupakan soal dengan tingkatan yang bisa dibilang rumit, apalagi bagian teori. Bergegas membuka Search Engine yang paling pintar dan cukup terkenal, Google. Akhirnya satu demi satu soal berhasil kukerjakan, dan hanya menyisakan 3 soal saja. Mencari di Google rasanya sia-sia saja, bahkan sudah ada teorinya namun lebih rumit. Akhirnya aku menemukan ide untuk berkunjung ke perpustakaan kampus tidak jauh dari kantin.
Aku langsung bergegas menuju rak ‘Ilmu Pengetahuan’, kemudian menuju rak besar bertuliskan ‘Kimia’ di atasnya. Aku mencari-cari buku yang sesuai untuk membantuku menyelesaikan 3 soal tersisa. Akhirnya aku menemukan 5 buku kumpulan teori terkenal dari beberapa tokoh Kimia di berbagai dunia. Aku membawa kelima buku tersebut menuju ruang baca di sudut ruang perpustakaan, ruang baca blok rak ‘Hiburan’. Aku memilih tempat di dekat jendela karena aku bisa merasakan hangatnya sinar fajar dari sana.
Syukurlah, ternyata perpustakaan ini memiliki kumpulan buku yang lengkap dan berbobot. Akhirnya 3 soal berhasil terpecahkan dan selesailah tugasku. Aku mengembalikan kelima buku di tempat semula. Saat hendak kembali mengambil tas di ruang baca, tiba-tiba ada keinginan melihat-lihat sebentar bagian rak hiburan. Mungkin sebuah novel fiksi bisa mendinginkan otak yang baru saja selesai ‘jogging’, batinku.
Aku tertarik pada deretan novel Assassin’s Creed berseri di rak ke-3. Aku ambil satu seri pertamanya, Assassin’s Creed: Renaissance dan membaca sedikit deskripsi isi novel di kofer belakang. Novel ini menceritakan tentang gigihnya seorang petarung melawan kejahatan di negerinya, Italia. Di bagian bawah kofer depannya tertulis: National BestSeller. Akhirnya aku mengambil satu serinya untuk ku baca.
Aku meletakkan novel itu di atas meja di sisi lain tempatku mengerjakan tugas tadi. Sinar mentari sudah tidak bersahabat. Terlalu kuat pancarannya, mengingat memang sekarang sudah hampir setengah hari. Aku mengambil tasku di meja seberang, dan meletakkan di kursi sisi kiriku sekarang. Ruang baca terlihat lebih lengang, hanya ada dua mahasiswi sedang asyik dengan novel atau majalahnya.
Baru selesai membaca beberapa lembar, tiba-tiba datang seorang wanita berkaca mata dengan rambut hitam legam masuk ke dalam ruang baca dengan terburu-buru. Sepatu wedgesnya beradu dengan lantai berkarpet menimbulkan irama bising tersendiri dalam ruang baca yang lengang. Namun ia tidak memerdulikan sekitarnya yang merasa terganggu. Rambutnya yang dikuncir satu di belakang tampak bergoyang ke kanan dan kiri seiring langkah kakinya yang lebar. Dia mendesah kesal dan menghempaskan punggung ke sandaran kursi yang didudukinya, di sampingku. Aku meliriknya dengan satu alis terangkat, “Tidak bisakah kau lebih santai? Sedikit saja. Ini perpustakaan.”
“Ya! Aku tahu itu. Maaf kalau terganggu, aku hanya tidak bisa mengendalikan emosi. Aku cuma butuh—”
“Novel untuk hiburan?” tebakku tak sabaran.
“Ya! Tepat sekali. Tunggu sebentar,” ia meletakkan tasnya di kursi, kemudian beranjak menuju rak-rak kumpulan novel.
Aku lanjut membaca novel di hadapanku yang baru saja sempat terpotong.
Beberapa menit kemudian. . . .

            “Hai!” si wanita tadi menepuk pundakku.
            “Ya?” pandanganku langsung tertuju pada wanita berkaca mata yang langsung duduk si sampingku, “Wow! Penggila novel juga rupanya. Novel apa saja itu? Kau akan meminjam semuanya?”
           Ia meletakkan 5 buah novel yang ia tumpuk jadi satu, “Ini, kelimanya seri dari novel Assassin’s Creed. Aku suka novel semacam ini,” ia membetulkan posisi duduknya, “ ehm maksudku, aku suka novel-novel fiksi. Setidaknya itu lebih bagus daripada novel roman yang endingnya begitu-begitu saja.”
            “Sepertinya kita punya pemikiran yang sama. Aku juga suka novel fiksi, misteri, petualangan.”
       “Wah, aku punya banyak sekali novel genre itu. Kalau kau sempat, kau boleh berkunjung ke apartemenku,” ia tersenyum ramah, “Ya ampun! Kita terlalu banyak mengobrol sampai lupa berkenalan,” kemudian ia menjulurkan tangannya, “Namaku Cristina.”
          Aku tertawa menyadari hal itu. Aku ikut meraih telapak tangannya, “Namaku Claudia Nemore. Panggil saja, Claudia. Ohya untuk tawaranmu, bagaimana kalau sekarang saja? Kalau kau tidak ada jadwal kuliah sih.”
            “Kebetulan aku tidak ada jadwal kuliah sekarang, docento ospite tiba-tiba mengalihkan jadwalnya besok siang. Tapi, tunggu aku selesai mendaftar buku yang hendak aku pinjam ini ya,” ia melirik tumpukan novelnya, “kau tunggu di sini dulu.”
            “Aku ikut denganmu, novel satu ini menarik untuk dibaca.” Aku tersenyum sambil mengangkat novel yang memiliki tebal sekitar 8 cm itu.
            “Assassin’s Creed juga rupanya. Seri pertama.” Tangan kirinya menjinjing tas kuning-kecoklatannya.
            “Ya, tepat sekali,” aku mengalungkan tas domoku di samping, “Ayo berangkat.”
“Senang berkenalan denganmu, Claudia. Memang saat kita memiliki pemikiran yang sama, pertemanan jadi semakin asyik.”
            “Aku juga senang berkenalan denganmu, Cristina. Kita bisa saling berbagi soal hiburan kecil ini. Si novel fiksi.”
            Sambil berjalan menuju penjaga perpustakaan, aku dan Cristina kembali tertawa bersama. Entahlah, kenapa aku bisa secepat itu berkenalan dekat dengan seseorang. Mungkin apa yang pernah dikatakan teman-teman persoal kharisma yang mudah membuat seseorang tertarik memang benar.
***
           
“Astaga! Ini ruangan khusus novel-novel?” aku tertegun memandang ke sekeliling ruang dengan rak-rak yang tersusun rapi.
       “Tidak. Khusus novel, ada di sebelah kananmu. Sisanya kitab-kitab hukum, Undang-Undang, peraturan-peraturan di negeri Pisa ini. Semua tentang hukum.” Ia menunjuk rak-rak di sebalah kiri dan depanku. Memandangnya dengan rasa kagum.
            “Cris, mahasiswi jurusan hukum?” aku bertanya apa yang begitu saja ku simpulkan.
            “Tepat sekali! Semester enam. Aku sangat mencintai hal yang berbau hukum.” (nakhitadiantum.blogspot.com) Lagi-lagi ia tertawa, mempertontonkan barisan gigi putihnya yang rapi.
            “Wow, ternyata senior.”
            “Loh? Kau semester berapa, Claudia? Jurusan apa?”
            “Semester empat, jurusan Kimia. Aku juga mencintai kimia sepenuh hatiku,” aku juga ikut tertawa, “Sepenuh hatiku? Hiperbola.”
            “Oh, jadi Claudia masih semester empat ya?”
            “Iya, kak.” Aku mengedipkan sebelah mata.
        “Oh. Ayo kamu mau pilih novel yang mana?” Cristina berjalan menuju rak-rak novel, dan aku mengekor di belakangnya.
            ...I’m at the payphone trying to call home, all of my change
         Tiba-tiba handphone Cristina berbunyi, “Iya, Halo?.....Iya tidak apa-apa. Bagaimana tugasnya?.....Oh jadi masih belum selesai?.....Mau dikerjakan bersama? Boleh! Kebetulan aku juga tidak sendiri di sini. Ohya, titip 2 special pizza ya?.....Oke. See you.”
          Telepon ditutup.
      “Temanku akan datang ke sini. Ada tugas yang harus diselesaikan. Dia bilang dia membutuhkan perpustakaan miniku.” Ia menjelaskan.
       “Oh? Apa aku mengganggu?” aku menggigit bibir bawahku, merasa canggung kalau-kalau kedatanganku merepotkan.
            “Claudia, kau tidak mengganggu sama sekali. Tenang saja, anggap rumah sendiri. Temanku yang satu itu pasti tidak akan keberatan kalau harus kedatangan satu tamu baru. Dia teman seperjuanganku di jurusan hukum, sama-sama semester enam,” ia bercerita sambil tetap asyik memindai novel yang baru saja ia ambil di salah satu baris raknya, “dia juga sahabat baikku.”
           “Sahabat baik? Oh,” aku mengambil sebuah buku dari baris ke-5. Aku memilih satu novel dengan judul yang menarik Lost in The Jungle, “aku sudah menemukan sebuah novel, kak.”
            “Oh, itu? Pilihan yang bagus untuk mengerti arti sebuah persahabatan,” Cristina meninggalkan ruang perpustakaan mininya. Aku tetap saja mengekor kemanapun si ‘tuan rumah’ pergi, “Ayo ke ruang tamu.”
          Ruangan bercat biru tua ini bisa dibilang cukup luas. Selambu biru laut membuat ruang tamu apartemen ini menjadi semakin mewah. Hampir seluruh lantainya dilapisi karpet yang halus. Sofa dengan design Italia klasik diatur hingga membentuk huruf ‘U’. Tepat di hadapan sofa bagian tengah terdapat LCD TV 21 inchi. Di sudut ruang terdapat sebuah meja persegi kecil dengan beberapa figura foto di atasnya. Foto Cristina bersama ibunya, ada juga fotonya bersama keluarga besar. Aku memicingkan mata melihat foto Cristina bersama seorang lelaki, terlihat begitu akrab. Oh, mungkin kekasihnya.
Ting tung ting tung. Suara bel mengagetkanku.
“Iya, tunggu sebentar.” Cristina meletakkan novel yang asyik dibacanya, kemudian sedikit berlari membukakan pintu.
Buonasera, Cristina.”
Aku mendengar suara seorang laki-laki di ujung pintu. Namun cerita yang tengah ku baca lebih menarik daripada harus menoleh ke sumber suara. Oh, mungkin itu teman Cristina, percuma saja aku juga takkan mengenalnya, batinku.
Buonasera. Silahkan masuk, maestro. Semoga kau tidak lupa pesananku.” Suara pintu tertutup.
“Tenang saja aku takkan lupa,” langkahnya semakin mendekat menuju sofa, “Hei, Cris, inikah temanmu?”
“Ya, ampun. Aku terlalu senang kau membawakan pizza untukku sampai lupa mengenalkannya padamu,” Cristina meletakkan kotakan pizza di atas meja kaca di sampingku, kemudian menepuk pundakku, “Adik, kenalkan ini sahabatku.”
Mau tidak mau, aku menutup novel yang tengah ku baca dan meletakkannya sembarangan. Kemudian menatap lelaki jangkung di hadapanku.
“Claudia...”
“Reno...”
Beberapa detik aku dan Reno hanya saling menatap. Tak menduga akan bisa bertemu lagi sejak sekitar seminggu lalu bertemu di sebuah halte.
“Jadi kalian sudah saling mengenal?” suara Cristina memecah keheningan.
Catereno sudah terlihat membaik. Lelaki berkulit kuning langsat dengan rambut model spike itu menunjukkan senyumnya yang tulus dan menawan. Senyum yang terlihat aneh namun tidak membosankan, “Kita sudah pernah bertemu sekitar 1 bulan yang lalu, di sebuah halte di kawasan Florence, saat aku sedang menunggu—” matanya seolah memberikan isyarat kepada Cristina bahwa ia sebenarnya tau.
“Lalu?” Cristina menangkap isyarat yang diberikan Reno.
“Saat itu sudah larut malam, hampir tidak ada taksi berhenti di sana. Kemudian aku bertemu Claudia. Ia menawariku tumpangan kembali ke sini, San Gimignano. Aku sangat berterima kasih atas kepeduliannya.”
Aku jadi semakin bingung saja. Menunggu? Menunggu siapa?
“Oh, jadi begitu?” pandangan Cristina beralih kepadaku, seolah meminta kepastian atas cerita Reno.
“Benar, kak. Kebetulan aku lewat jalur sempit itu. Aku memang tak terlalu suka gemerlap lampu kota Florence.” Aku tersenyum sebisaku. Ya meskipun masih bingung dengan isyarat di antara mereka.
“Sudahlah  abaikan saja,” tangan kanannya mengibas udara, “jangan bingung begitu.”
“Baiklah,” aku mengambil kembali novel yang tadi sempat aku geletakkan begitu saja, “sebaiknya kakak juga melanjutkan tugas yang tadi.”
“Iya iya, adik kecil.” Catereno menyahut dan segera bergegas menuju ruang perpustakaan mini.
Kini ruang tamu kembali lengang. Aku hanya bertemankan irama detik jam dinding yang berada tepat di belakangku. Lembar demi lembar novel selesai ku baca. Tanpa terasa sudah sampai pada halaman pengenalan Penulis. Akhirnya novel Lost in The Jungle berhasil ku selesaikan. Ceritanya memang sangat menarik. Petualangan, persahabatan, pantang menyerah, seluruhnya merupakan kisah nyata si penulis.
Aku membetulkan posisi dudukku yang sedari tadi hanya membaca dengan kaki menekuk di depan dada. Aku meluruskan kaki di atas sofa empuk warna kuning kecoklatan ini. Lampu dari ruang baca masih tetap menyala terang. Aku sedikit melongok ke dalam ruangan, ternyata Cristina dan Reno masih serius melanjutkan tugas kuliahnya. Ku lihat jam dinding di belakangku, ternyata sudah menunjukkan pukul 9 malam. Pantas saja sudah sangat ngantuk, sebaiknya pamit pulang saja, batinku. Aku beranjak dari sofa, meraih tas domoku yang ku letakkan di bawah meja tadi. Melangkahkan kaki dengan enggan menuju ruang baca, hendak berpamitan.
“Permisi kak,” aku berhenti sejenak, “aku pamit pulang dulu.”
Cristina dan Reno serentak menoleh yang disusul dengan senyuman, “Pulang? Malam begini, taksi sudah jarang. Tunggulah, tugas kita sebentar lagi selesai. Aku yang akan mengantarkanmu,” Cristina mendahului.
“Cris, aku saja yang akan mengantarkan Claudia. Kau istirahat saja di rumah. Ayo kita cepat selesaikan tugasnya. Kasihan si adik kecil sudah mengantuk.” Reno terkikik ke arahku. Entah mengapa, bukan kesal namun aku malah tersenyum.
            “Yasudah kalau begitu,” Cristina melirik ke arahku dan Reno bergantian, “Jangan-jangan, di antara kalian, ada sesuatu yang—”
            “Maksud kakak?” aku merasa jatungku berdetak sedikit lebih cepat.
            “Cris, sebaiknya kita lanjutkan mengerjakan tugas,” Reno kemudian menyela.
            “Dasar! Usaha mengalihkan perhatian,” Cristina terkikik, kemudian lanjut asyik dengan tugasnya.
            Aku melirik ke arah Reno yang saat itu sedang tersenyum ke arahku. Aku langsung menunduk dan ikut tersenyum. Senyum  itu, ia memiliki senyuman yang aneh namun entahlah, ada perasaan ingin melihatnya lagi dan lagi.
       “Sudah sana antarkan Claudia. Tugasnya sudah hampir selesai, aku saja.” Tiba-tiba Cristina mendapatkan sebuah ide entah darimana datangnya.
            “Kalau kau tidak keberatan dengan tugas itu, baiklah aku pulang sekarang.”
            Aku tetap berdiri di ambang pintu menunggu mereka selesai bicara.
            “Tenang saja, bukan masalah besar,” Cristina mengacungkan ibu jari kanannya, “Yang terpenting, antarkan adik kecilmu itu,” lagi-lagi ia melirik ke arahku dan Reno bergantian, dengan senyum yang dibuat-buat.
            “Dengan senang hati.” Reno  memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya. Kemudian bergegas keluar dari apartemen Cristina setelah berpamitan. Aku mengekor di belakangnya. Baru saat ini, aku merasa sangat kecil bila disejajarkan dengan Reno yang memiliki tinggi sekitar 174 cm. Biasanya aku terlihat sedikit lebih tinggi atau paling tidak, sejajar dengan teman sebayaku.
           Di luar gedung apartemen, terparkir mobil Lexus warna putih dengan sedikit modifikasi pada tiap-tiap bagiannya. Aku baru sadar kalau itu adalah mobil Reno saat lelaki di depanku itu  menekan salah satu tombol yang ada di kunci mobilnya, kemudian disusul (nakhitadiantum.blogspot.com) dengan terbukanya pintu bagian depan. Modifikasi, batinku. Ia mempersilahkanku masuk terlebih dahulu, kemudian menutup pintunya secara manual. Akhirnya ia benar-benar memastikan aku selamat sampai di rumah. Perhatian kecilnya membuatku kagum.
***

7 Februari 2009
“Ini berawal dari pertemuanku dengan 2 orang hebat yang akhirnya memotivasi diriku sendiri untuk selalu berbuat lebih baik lagi. Bermula dari pertemuan yang tidak disengaja, sampai akrab karena hobi yang sejenis. Pertemuan yang menyatukan kami bertiga dalam sebuah persahabatan.
Sekitar 3 bulan lalu, aku dan kedua kakak seniorku merancang sebuah liburan ke negeri Eiffel, Prancis. Kami berencana menghabiskan pergantian tahun di sana. Ternyata apa yang kami rencanakan berjalan sukses tanpa ada kendala yang berarti. Namun akhirnya kami memutuskan untuk menunda kepulangan kami ke negeri sendiri dikarenakan pesona Eiffel yang luar biasa. Tepat tanggal 2 Januari 2009, kami mengukuhkan persahabatan kami di puncak menara tertinggi di Prancis.
Aku baru sempat menuliskan cerita ini sekarang dikarenakan tugas berlebih yang selalu mengejarku, sehingga aku hanya punya sedikit kesempatan.
Persahabatan 3 makhluk berlainan sifat ini memang begitu hebat,namun aku terkadang merasa bersalah. Karena diam-diam aku merasakan sesuatu yang berbeda saat bersama Catereno. Segala perhatiannya membuatku merasan nyaman. Sampai aku merasa perasaan ini tidak sepihak. Perasaan selalu ingin berjumpa, khawatir, dan yang kusadari paling akhir adalah rasa sedikit tergores saat melihatnya bersama teman wanita lain. Ah, konyol sekali.
Catereno adalah sosok yang menarik dan bagaimanapun aku tidak bisa mengelak dari perasaan ini.
Claudia.”

Aku menutup file ini dan melanjutkan tugas Kimia.

11 Februari 2009
            Pagi yang cerah di bulan Februari membuat semangatku terbakar. Aku memiliki janji dengan dosen Kimia hari ini untuk mengonsultasikan tugas akhir yang ku buat. Januari lalu, salah satu dosen Kimia terbaik di kampus mengirim surat yang isinya aku dan beberapa temanku yang lain boleh mengikuti sidang tugas akhir pada bulan Juli karena nilai yang diperoleh memungkinkan untuk lulus lebih cepat. Itu artinya aku bisa menghemat 2 semester dan bisa lulus bersama kedua sahabatku yang hebat. Aku belum menceritakan persoal surat ini kepada mereka. Biarkan ini menjadi kejutan.
            Ternyata konsultasi berjalan lancar daripada yang ku duga sebelumnya. Akhirnya aku keluar dari ruangan dengan senyum yang mengembang.
            Aku masih belum berniat pulang. Akhirnya aku melangkahkan kaki ke perpustakaan kampus untuk sekedar membaca beberapa buah novel sebagai hiburan atau meminjam beberapa buku sebagai tambahan referensi tugas akhir. Saat aku hendak memasuki ruang baca, aku melihat kedua sahabatku sedang mengobrol di sana, Reno dan Cristina. Awalnya aku berniat menyapa, namun ku urungkan niatku saat menyadari perbincangan mereka yang serius. Aku bersembunyi di balik rak buku paling belakang, yang paling dekat dengan tempat mereka duduk. Perbincangan di antara mereka membuatku tertarik.
            “Sebenarnya aku sudah mengira saat kita berkumpul di apartemenku untuk yang pertama kalinya,” giliran Cristina menyahut.
           

            “Saat itu aku sudah mulai tertarik padanya. Aku suka bagian darinya yang tak pernah menjadi orang lain, maksudku, aku suka caranya menjadi dirinya sendiri.”
            “Iya. Dia juga tidak pernah menyembunyikan apa yang ingin ia katakan.” Cristina menyetujui.
        “Tanpa sadar, Claudia membuatku mengaguminya. Tapi, Cris. Aku masih belum bisa melupakan Maria.”
         Pernyataan itu membuatku tak tau harus merasa senang atau sedih. Senang karena perasaan ini memang tak sepihak, atau sedih karena, siapa Maria itu?
            “Kau masih saja mengingatnya. Mantan kekasihmu itu sudah tidak memerdulikanmu, tidakkah kau merasa? Lihat saja, ia tak menepati janji di halte setahun yang lalu. Kenapa harus kau perjuangkan dia lagi? Aku tak terlalu  suka menyadari bahwa kau masih berlari di tempat yang sama. Tidakkah kau melihat kesempatan di mata Claudia?” nada suara Cristina sedikit lebih tinggi.
            Oh, sekarang aku mengerti. Jadi saat Reno katakan sudah menunggu lama di halte setahun yang lalu, ia sedang menunggu Maria, mantan kekasihnya?  Menyadari hal itu, tiba-tiba jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Hembusan nafasku kini berubah menjadi hembusan keputusasaan. Tanpa terasa, air di mataku menggenang yang kemudian terjun bebas. Satu. Dua, dan tiga tetes.
            “Sejak Claudia datang dalam hariku, aku merasa sudah berhasil terbang dengan ia sebagai sayapku. Bahkan aku merasa, aku takut kehilangannya. Namun, saat pesta ulang tahun kemarin, yang sekaligus kita rayakan di puncak Eiffel. Yah, sepulang dari Prancis, Maria datang ke rumahku membawa sebuah tart bertuliskan ‘Happy 19, my Cate’. Saat itu aku merasa, seperti terhempas lagi ke titik nol. Aku mengingat Maria lagi. Aku bingung, Cris.”
          Aku tak sanggup mendengar perbincangan mereka selanjutnya. Akhirnya ku urungkan niatku membaca novel dan meminjam beberapa buku sebagai referensi. Aku pulang ke rumah dan mengunci diri dalam dimensi lain yang siapa pun takkan mau. Kesedihan.
***

11 Maret 2009
            Sudah sebulan aku memutuskan untuk menyendiri. Tidak menghubungi kedua sahabatku. Aku menyibukkan diri dengan tugas akhir yang masih belum terselesaikan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, tingkahku yang seperti ini terbilang kekanak-kanakan. Yang seperti ini apa bisa menyelesaikan masalah? Ah, entahlah. Aku hanya ingin menyendiri, bukan menghindar, itu saja. Lagipula, sejak beberapa bulan ini, Reno jarang meghubungiku atau sekedar ‘say Helo’. Mungkin dia juga butuh menenangkan diri.
            Aku meraih handphoneku berniat mengirim pesan singkat kepada Cristina. Menanyakan bagaimana kabarnya dan meminta maaf atas kelancanganku mendengarkan perbincangannya di perpustakaan.
            Ada pesan masuk. Cristina bilang ia baik-baik saja. Dan untuk perbincangan itu.... Ia menanyakan sejauh mana aku mendengarkannya. Kemudian aku menjelaskannya via telepon. Ia memang sahabat yang baik. Ia bilang akan berusaha membujuk Reno untuk melupakan Maria, lagipula ia memang tidak terlalu suka. Ia menyarankan untuk tidak menghubungi Reno dulu dalam waktu dekat ini karena itu saat sibuk-sibuknya ia dan Reno mengerjakan tugas akhir.
            Ya. Aku mengerti, aku paham. Aku akan menunggu sampai waktunya tepat. Aku juga akan fokus menyelesaikan tugas akhirku. Maaf, aku masih belum bisa menceritakan kepada kalian soal kelulusanku yang mendahului teman sebayaku, aku bicara dalam hati.

08 Juli 2009
            Akhirnya aku resmi menjadi lulusan terbaik Jurusan Kimia tahun ini. Syukur, dan aku memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Aku memilih Netherland, negeri kincir angin itu sebagai tempat aku menuntut ilmu. Aku juga mendengar kabar dari Cristina bahwa ia dan Reno juga memiliki nilai yang cukup tinggi dalam Jurusan Hukum. Dan banyak beasiswa yang mereka dapatkan.
            Tanpa terasa sudah 4 bulan lamanya hilang komunikasi dengan Reno. Sampai sekarang masih belum ada kabar darinya langsung. Padahal, satu minggu lagi aku sudah harus berkemas dan bertempat tinggal di Netherland. Aku hanya percaya, seandainya ia merindukanku, pasti ia akan datang. Aku menuliskan sebuah surat untuknya.
            Satu minggu kemudian. . . .

            Saat aku hendak memasuki ruang tunggu bandara, telepon berdering. Ternyata dari bibi, pembantu di rumah, ia mengatakan bahwa baru saja datang seorang lelaki dan perempuan yang mengaku bernama Reno dan Cristina menanyakanku. Namun bibi hanya memberikan surat yang sudah aku titipkan, tanpa menjelaskan kemana aku pergi. Ada perasaan lega di sini, ternyata ia mencariku.
            Semoga isi surat itu membukakan segalanya.
            Pemberitahuan bahwa pesawat menuju Belanda akan segera berangkat, aku segera melaju ke pintu masuk yang sudah diatur oleh petugas bandara. Selamat tinggal, Italia. Terima kasih atas segala yang pernah disuguhkan.
            Aku datang, Belanda.
***

Reno:
          di sini aku terduduk, beradu muka dengan portable kesayanganku. seperti malam-malam biasanya, mengurung diri dalam ruangan berselambu merah muda. Duduk memeluk lutut dalam dimensi yang termarjinalkan. Inilah aku. Dan di sinilah aku berada.
     entahlah aku harus menyebutnya apa. Kesalahan? jika iya, apa ini kesalahanku? jika bukan, apa ini benar dan seharusnya memang begitu? oh, lagi dan lagi pertanyaan itu menggantung begitu saja, tanpa jawaban.
     aku mengerti untuk siapa sebagian hatimu sekarang. aku paham betul, melupakan masa lalu memang tak semudah saat menerima orang asing, seperti diriku. tapi aku mohon untuk saat ini saja, izinkan aku bersikap egois. untuk saat ini saja aku ingin melampaui batas. saat ini saja, aku ingin mengabaikan apa yang mungkin sudah ditakdirkan.
     aku mengagumimu sebagaimana aku mengagumi Kimia. aku mementingkanmu sebagaimana aku mementingkan studiku agar aku bisa lulus mendahului teman sabayaku, dan bisa berdiri sebagai lulusan terbaik di sampingmu. maaf aku tidak menceritakan ini sebelumnya. melalui surat ini, aku ingin mengungkapkan apa yang selama ini bersarang dalam 'sesuatu' yang berdegup lebih cepat saat dirimu menemaniku. Langsung saja, aku mencintaimu....
     aku melanjutkan studiku di Netherland. aku mengambil beasiswa di sana. Seandainya hatimu sudah menjatuhkan pilihan, dan itu aku, datanglah tepat saat aku berumur 22 tahun bersama Cristina. Di menara yang sangat kau impikan, Eiffel. Di tempat yang sama saat kita mengukuhkan sebuah persahabatan.
Besok adalah hari terakhirku menikmati fajar di Italia.
Ini untukmu, 20-52-75-7-8
14/06/2009
claudia,

            Semangat pagi yang sudah ku susun tiba-tiba runtuh begitu saja saat menerima sepucuk surat dari wanita paruh baya di rumah Claudia. Wanita yang mengaku pembantu di rumah Claudia itu mengatakan telah dititipkan surat dari majikannya.
        “Cris, kita sudah terlambat.” Aku merasa seperti terhempas begitu saja. Aku menyalahkan kebodohanku yang tidak bisa memilih dengan cepat.
            “Tidak ada kata terlambat, simak baik-baik surat itu. Bukankah kau masih punya kesempatan? Jangan sia-siakan 8 Oktober 2012 nanti. Di menara Eiffel. Yah, kalau kamu memang sudah menjatuhkan pilihan.” Kata-kata Cristina benar. Aku masih punya kesempatan, batinku.
               “Aku sudah memilih, Cris.” Aku berkata dengan kemantapan hati saat ini.
             “Syukurlah kalau begitu,” Ia terdiam sejenak, kemudian meraih surat dari genggamanku, menyisakan amplopnya saja, “Tunggu sebentar. 20-52-75-7-8. Apa maksudnya?”
            “Hal itu juga yang ingin aku tanyakan.”
            “Hei, tunggu sebentar,” ia meraih amplop yang tersisa di tanganku, “Oh, aku tau sekarang. Coba kita lihat angka-angka itu dalam tabel periodik unsur ini. Apa kira-kira yang akan kita temukan.”
            Aku mencari angka-angka itu dalam tabel periodik unsur yang menjadi amplop suratnya itu. 20, Ca. 52, Te. 75, Re. 7, N. 8, O.
            “Astaga! Catereno. Itu namaku,” aku terkesan atas kode yang baru saja terpecahkan.
            “Dia benar-benar mengagumimu sebagaimana ia mengagumi Kimia”
            Aku hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Tidak tau harus berkata apa, “Omong-omong, kau jadi mengambil beasiswa hukum di Belanda kan?” tanyaku was-was.
            “Ya. Kenapa, Ren?”
            “Aku titip dia. Setidaknya, aku meminta kabari aku bagaimana keadaannya seminggu sekali. Aku mohon”
            “Ya. Tenang saja, kawan.” Senang rasanya melihat Cristina tersenyum begitu.
            “Aku melanjutkan studiku di Prancis. Aku janji aku akan datang, 8 Oktober 2012. Tapi sebelumnya, aku akan fokus dengan studiku. Aku akan memastikan dulu, saat itu aku sudah menjadi orang hebat dan aku tidak akan mengecewakan Claudia lagi.” Aku mengatakannya sungguh sungguh.
           “Aku mengerti, kawan. Meskipun kita terpisahkan jarak yang cukup jauh, kita akan tetap bersahabat. Satu sahabat, satu cinta, berbagai asa.”
***

            Waktu itu relatif. Suatu saat, waktu akan terasa berjalan sangat lamban. Namun di lain sisi, waktu kadang tanpa terasa sudah melaju begitu saja. Seperti sekarang. Rasanya baru kemarin, aku datang di negeri kincir angin ini, meninggalkan 2 temanku. Tanpa terasa, sudah 3 tahun aku menuntut ilmu dan berhasil mengambil gelar ahli Kimia. Juga tanpa terasa, besok usiaku sudah menginjak 22 tahun.
         Aku bergegas menuju bandara setelah mengemas beberapa pakaian yang aku butuhkan untuk menginap beberapa hari di Prancis. Aku sudah memesan sebuah hotel yang lokasinya tidak terlalu jauh dari menara Eiffel sekitar satu bulan lalu. Aku juga sudah mempersiapkan diri, kalau kalau hal terburuk terjadi: Reno memilih untuk tak datang.

07 Oktober 2012
           Aku melihat jam dinding di kamar hotel yang sudah menunjukkan tepat pukul 10 malam. Aku langsung bergegas setelah sebelumnya sempat merias muka sebisaku. Aku suka kealamian, lagipula aku juga tak terlalu ahli bersolek seperti wanita-wanita lain. Aku segera meluncur menuju menara Eiffel dengan mengendarai taksi karena memang tak jauh dari hotel tempatku menginap terdapat sebuah halte.
            Meskipun aku sudah pernah ke sini sebelumnya, namun tetap saja tertegun, kagum, saat melihat menara yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga kuat melawan angin ini. Aku memutuskan untuk berkeliling sebentar, mengambil beberapa foto (nakhitadiantum.blogspot.com) dari berbagai sisi di menara ini.
               Akhirnya pukul setengah 12 aku berada di tempat yang sama, saat sekitar 3 tahun lalu aku berdiri di sini bersama mereka—Cristina dan Catereno. Bedanya, sekarang aku datang sendirian, menunggu mereka. Ya, kalau mereka datang.
              Sudah setengah jam. Ini sudah tanggal 08 Oktober dan aku masih tidak bisa merasakan kehadiran mereka. Jujur saja, aku mulai khawatir. Namun bersusah payah aku menghibur diri sendiri. Mungkin aku akan menunggu 1 jam lebih lama lagi di sini, batinku.
           Saat ini waktu bertindak curang padaku. Seolah ia memperlambat setiap perpindahan lengan detiknya. Membua waktu terasa lebih awet dan lama. Kenapa satu jam menunggu di sini seakan terasa lebih lama daripada satu jam melakukan jogging mengitari lapangan basket? Aku melihat melihat jam tanganku. 01:04. Tepat 1 jam, aku menunggu di sini.
                Dan aku masih tidak bisa menemukan kedatangan mereka.
              Akankah mereka ingat hari ini dan datang? Kenapa aku bisa begitu yakin, Reno akan menjatuhkan pilihan, dan itu aku? Bukankah masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi? Bagaimana kalau akhirnya Reno memilih Maria? Atau memilih seseorang yang lain? Aku memang sudah mempersiapkan segala kemungkinan terburuk, namun tetap saja aku tidak bisa membendung kesedihan yang tiba-tiba menyeruak saat aku tau, mereka tak datang.
            Ini tentang harapan yang putus di tengah jalan. Tentang bagaimana perihnya perasaan yang tak terbalas. Terkadang aku menyesal, telah memupuk perasaan ini dalam diriku. Perasaan yang awalnya aku yakini bukan perasaan sepihak. Aku yakin bahwa ia juga merasakan hal yang aku rasakan sekarang. Membiarkan rindu terus menggerogotiku seperti kanker bertahun-tahun. Ternyata aku salah, mungkin dia belum sejauh apa yang ku rasakan. Namun aku telah banyak belajar dari wanita-wanita yang lebih tegar daripadaku. Mereka yang lebih tegar mengucap kata sabar daripada sesal. Aku menyeka air mata yang terus mengalir dari kedua mataku.
            Mau bagaimana lagi? Mungkin ini memang jalan yang sudah Tuhan pilihkan untukku. Pasti ada maksud lain di balik ini. Aku menyudahi penantianku sekarang. Selamat Ulang Tahun untuk diriku sendiri. Kita bertiga mungkin memang selamanya akan bersahabat.
            “Claudia...” sebuah suara mengagetkanku. Aku lekas menghapus air mata yang masih tertinggal di ujung pelupuk mataku. Kemudian dengan enggan aku berbalik.
             Aku sungguh terkejut melihat seorang lelaki yang sudah sangat ku kenal berdiri di depanku. Seorang wanita berambut hitam panjang sedang berdiri di sampingnya. Raut mukanya tidak banyak berubah. Sudah tentu aku mengenalnya. Namun aku tidak tau harus berkata apa. Terlalu shock dengan siapa yang berdiri di depanku.
              “Claudia...” si wanita memelukku dengan erat.
             Aku menyambut pelukannya dan tanpa sadar menitikkan air mata lagi, “aku kira kau tak akan datang, kak.”
          “Maafkan atas keterlambataan kami ya Claudia. Kami tidak bermaksud untuk membuatmu menunggu,” Cristina coba menenangkanku, “aku sangat merindukanmu, adik kecil.”
                Setelah cukup lama, akhirnya aku saling melepas pelukan dengan Cristina.
             “Claudia,” lelaki yang sedari tadi hanya diam saja itu kemudian mengeluarkan serangkai bunga mawar merah dari balik badannya, “Selamat ulang tahun, adik kecil. Semoga kau mendapat apa yang kau inginkan,” ia tersenyum, mempertontonkan barisan giginya yang rapi.
              Aku terkejut dan sekaligus merasa sangat senang. Aku menerimanya dengan perasaan haru, “Terima kasih, kak Reno.”
           “Selamat ulang tahun, cantik.” Cristina menyusul, ia juga mengeluarkan sebuah kotak coklat dari dalam jaket woolnya.
            “Terima kasih, teman.” Aku benar benar ingin menangis, terharu.
            Plok plok
            Belum rasa terkejutku usai, sudah disusul dengan keterkejutan yang lain. Malam ini benar-benar penuh kejutan. Tiba-tiba Catereno bertepuk dua kali seolah ingin memberi isyarat. Dan tiba-tiba 2 orang membawakan sebuah kursi dan sebuah gitar. Apa yang akan ia lakukan?
           “Jangan terkejut. Dengarkan saja ia bernyanyi,” Cristina tersenyum kepadaku. Kemudian ia melangkah menjauh. Ia kini berdiri di samping Catereno yang sedang duduk sekitar 3 meter di depanku.
              “2 lagu ini aku persembahkan untuk seorang wanita yang selalu menjadi semangatku. Sekarang ia berdiri tepat di hadapanku. Claudia,” Reno mengucapkannya dengan sungguh-sungguh sebelum akhirnya mulai bernyanyi.
             Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagia ini. Aku bukan seorang yang ahli membendung air mata, saat sedih atau senang. Di sinilah aku, dibuat menangis terharu oleh seorang yang aku sayangi. Serasa menjadi wanita yang paling berbahagia saat dinyanyikan lagu ‘The Way You Look at Me’ dan  diakhiri lagu ‘Endless Love’.
        Reno menyelesaikan lagunya, kemudian beranjak dari kursi menuju ke arahku, “Aku sudah menjatuhkan pilihan, Claudia.”
            “Syukurlah, kau sudah jauh lebih tegas sekarang.”
          Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari saku jasnya. Saat ia membukanya, aku melihat dua buah cincin yang memiliki ukuran berbeda. Yang satu nampak lebih kecil dari lainnya
            “Jadilah wanita yang berdiri di sampingku di altar nanti,” ia menekuk lutut-lututnya sedemikian rupa hingga tingginya sekitar separuh dari tinggiku, “Aku mencintaimu.”
        Aku mendengar suara riuh rendah tepuk tangan orang lain yang tanpa ku rasa sudah banyak bergerombol di sekitarku dan Reno membuatku malu, sekaligus terharu.
            “Terima kasih,” aku memegang lengannya dan sedikit menariknya ke atas agar ia berdiri, “Ya. Aku juga mencintaimu.” Aku memeluknya erat. Menangis terharu di pelukannya.
           Ia membalas pelukanku sambil berbisik, “jangan menangis lagi. Aku tak akan pergi meninggalkanmu.”
        “Terima kasih banyak, Ren,” ada satu tangan lagi yang memelukku dari samping. Ternyata Cristina, “terima kasih, semuanya.”
          Malam ini sangat penuh dengan kejutan. Di puncak menara Eiffel yang takkan mungkin terlupakan begitu saja seumur hayat. Aku merasa sangat berbahagia memiliki mereka, 2 orang yang sangat hebat. Di sinilah, di puncak menara ini, aku mengukuhkan sebuah persahabatan, dan 3 tahun setelahnya, saat kami sudah benar-benar menjadi orang sukses, seseorang yang ku tunggu begitu lama akhirnya mempersuntingku.
            Ya. Tuhan pasti punya rencana mengapa kita akhirnya dipertemukan, bertiga.

Nakhita Adiantum . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates