Cita, Cinta, dan Penantian
Claudia:
02 Februari 2008
Aku menyusuri jalanan kecil yang jauh dari hingar bingar perkotaan,
juga gemerlap lampunya. Membiarkan kendaraan ini meluncur dalam derasnya hujan.
Menembus pekatnya malam. Gelap, ketakutan, bimbang, dingin...
Jalanan semakin gelap saja. Kesunyian seolah mencekikku perlahan. Seperti
biasa, kunyalakan radio mungil untuk mencari sedikit hiburan. Tidak seberapa memang,
tapi cukup untuk meloloskan satu per satu jemari sunyi di leherku.
Jalanan memang tak pernah bersahabat denganku. Seperti segelas air
dengan setetes minyak, tak pernah menyatu. Lihat, kini jalanan bercabang menjadi
dua jalur yang kian sempit. Satu jalur yang begitu gelap, kumuh, memuakkan! Satu
lagi begitu kontras. Menarik dan unik. Aku melihat seberkas bayangan jatuh di
aspal yang hitam. Ah, akhirnya ku temukan cahaya seredup lilin.
Mobilku masih ingin berpetualang. Namun tidak mungkin aku melalui
kedua jalur itu dalam waktu yang bersamaan. Atau memutar kemudi pada jalanan
yang lebih besar, boulevard yang paling terkenal di negara Colosseum ini. Aku sudah
terlalu jauh mengemudi. Terlalu mustahil untuk kembali. Di sinilah titik dimana
aku harus memilih, aku sadar. Bimbang... tapi harus ada keputusan.
Dengan enggan ku pejamkan mata sejenak. Meresapi kejenuhan yang
tiada ujung. Perasaan bosan dalam kungkungan gelap dan sunyi menjalar hingga
ujung-ujung syaraf dendritku. Terlalu semangat menghembuskan nafas, hingga
terdengar seperti hentakan. 'Hhhh, aku ingin cahaya, seredup apapun itu', teriakku
dalam batin.
Ku pacu mobilku perlahan. Menyusuri jalur yang—aku pikir— begitu menarik.
Nampak luarnya memang tak ada beda, namun entahlah perasaan begitu saja
mengatakan jalur ini menarik. Semakin dalam, semakin terasa hangat, keremangan kian
menghilang, sampai akhirnya benar-benar hilang.
Dari kejahuan terlihat sebuah halte di sisi kiri jalan. Warnanya
biru laut, namun sudah kusam. Cat besinya sudah mulai mengelupas di sana sini.
Atapnya juga sudah mulai reot, mungkin termakan usia. Halte ini adalah satu
dari sekian halte yang terlewatkan dari perbaikan kota, mungkin? Entahlah.
Tunggu! Siapa dia? Aku melihat seorang lelaki berdiri memaku di
depan halte. Tingginya ku taksir sekitar 174 cm kalau saja ia tidak sedang
membungkuk seperti sekarang. Yah, selisih 6 cm dengan tinggiku. Matanya sayu,
tangannya melingkar di depan dada. Jaket wool yang membalut tubuhnya terlihat
sia-sia, tubuhnya tetap saja menggigil. Keadaannya seolah menceritakan sudah
lama ia bermandikan hujan, di bawah sorotan lampu kota.
Ku perlambat laju mobilku, kemudian berhenti tepat di depan lelaki
itu. Sedikit ada rasa was-was, karena ternyata aku belum pernah mengenalnya
sebelum ini. Aku menurunkan sedikit kaca mobil di sisi kiri. Penampilannya sungguh
berantakan. Ku taksir umurnya sekitar 2 atau 3 tahun di atasku. Entahlah apa
yang sedang ia lakukan di halte yang tidak bersahabat ini. Mungkin dia sedang
menunggu seseorang menawarinya tumpangan? Mungkin saja.
Si lelaki misterius itu kemudian mendongak. Mungkin suara mesin
mobil di tengah jalanan yang sunyi ini menyadarkannya dari lamunan. “Hai.”
sapanya dengan memaksakan sedikit lengkungan di ujung bibirnya. Aku membalas
senyumnya, namun kemudian ia menunduk lagi.
Ku matikan mesin mobilku, membuka pintu dan keluar. Kini aku berdiri
di sampingnya yang bermandikan hujan. “Buonasera, maestro. Apa yang
sedang Anda lakukan di sini?”
Ia mendongak lagi, kemudian tersenyum. “Selamat malam,” matanya
berkaca-kaca, “aku sudah menunggu lama di sini.”
“Menunggu lama? Apa maksudnya? Siapa? Aku benar-benar tidak
mengerti, maestro.”
“Oh, astaga abaikan saja. Seharusnya kamu tidak perlu tau ini. Maaf
pikiranku masih belum tertata,” dia tertawa canggung. Kemudian ia mengulurkan
tangannya, “Ohya, kenalkan. Namaku Catereno.”
Aku menyambut uluran tangannya, “Namaku Claudia, maestro.”
“Pssh. Berhentilah memanggilku Tuan. Bukankah kau baru saja tau
namaku? Panggil saja Reno”
“Ya ya ya. Terserahlah. Apa yang sedang kau lakukan di sini, Ren?
Tidak berniat pulang? Kebetulan aku lewat sini sendirian.” aku menunjuk ke arah
mobil sport warna unguku.
“Aku tadinya menunggu seseorang,” ia menunduk lagi, “namun mungkin
ia tak akan melewati jalur sempit ini.”
“Oh. Mungkin dia masih tersesat?” aku diam sesaat, menyesali
pertanyaan bodoh terlontar begitu saja, “ehm, kalau kau mau, ikut saja
denganku. Aku tidak keberatan mengantarkanmu.”
“Bagaimana mungkin? Dia bukan pendatang baru di kota ini. Mungkin
dia memang tidak berniat menghampiriku,” ia terdiam sejenak. Kemudian mendongak
dengan senyum yang terlihat dipaksakan, “soal tawaranmu tadi. kalau kau tidak
keberatan, bolehlah aku menumpang. Sebelumnya terima kasih. Ternyata masih ada
saja yang peduli denganku.”
“Iya, santai saja Reno. Aku kebetulan lewat jalur ini. Jadi, kenapa
tidak?” aku tersenyum kepadanya, “Ayo!”
“Claudia?”
“Ya, Ren?”
“Kalau kau tidak keberatan lagi. Izinkan aku saja yang mengemudikan
mobilmu.” Ia tersenyum kepadaku.
“Hm? Baiklah. Lagipula aku juga tidak tau dimana rumahmu.” Aku
membalas senyumnya.
“Grazie. Terima Kasih.”
“Ya”
***
5 Maret 2008
Aku sedang
melihat keluar jendela salah satu kafetaria di kantin kampus. Menikmati segelas
moccachino¸ minuman favoritku di pagi hari. Sinar fajar mentari
menerpa wajahku. Banyak temanku mengatakan, sebenarnya parasku tidak seberapa
cantik namun memiliki kharisma yang kuat untuk menarik simpati orang lain.
Entahlah apa alasan mereka. Padahal terkadang aku merasakan sebaliknya,
orang-orang menatapku seperti orang aneh.
Aku
mengeluarkan notebook kesayanganku dari Tas Domo-ku, dan meletakkannya
di samping gelas kuning moccachino di depanku. Kemudian aku coba mengusir rasa
bosan dengan iseng-iseng membuka situs pertemanan dunia maya. Ternyata ada
email masuk, ada satu pengikut baru rupanya. Oh ternyata Catereno, darimana dia
tau akunku? aku bertanya dalam hati.
Teringat tugas
Kimia yang belum terselesaikan, akhirnya aku meninggalkan situs pertemanan itu.
Ada 20 soal yang belum terselesaikan. Keduapuluhnya merupakan soal dengan
tingkatan yang bisa dibilang rumit, apalagi bagian teori. Bergegas membuka Search
Engine yang paling pintar dan cukup terkenal, Google. Akhirnya satu demi
satu soal berhasil kukerjakan, dan hanya menyisakan 3 soal saja. Mencari di
Google rasanya sia-sia saja, bahkan sudah ada teorinya namun lebih rumit.
Akhirnya aku menemukan ide untuk berkunjung ke perpustakaan kampus tidak jauh
dari kantin.
Aku langsung bergegas
menuju rak ‘Ilmu Pengetahuan’, kemudian menuju rak besar bertuliskan ‘Kimia’ di
atasnya. Aku mencari-cari buku yang sesuai untuk membantuku menyelesaikan 3
soal tersisa. Akhirnya aku menemukan 5 buku kumpulan teori terkenal dari
beberapa tokoh Kimia di berbagai dunia. Aku membawa kelima buku tersebut menuju
ruang baca di sudut ruang perpustakaan, ruang baca blok rak ‘Hiburan’. Aku
memilih tempat di dekat jendela karena aku bisa merasakan hangatnya sinar fajar
dari sana.
Syukurlah,
ternyata perpustakaan ini memiliki kumpulan buku yang lengkap dan berbobot.
Akhirnya 3 soal berhasil terpecahkan dan selesailah tugasku. Aku mengembalikan
kelima buku di tempat semula. Saat hendak kembali mengambil tas di ruang baca,
tiba-tiba ada keinginan melihat-lihat sebentar bagian rak hiburan. Mungkin
sebuah novel fiksi bisa mendinginkan otak yang baru saja selesai ‘jogging’,
batinku.
Aku tertarik
pada deretan novel Assassin’s Creed berseri di rak ke-3. Aku ambil satu
seri pertamanya, Assassin’s Creed: Renaissance dan membaca sedikit
deskripsi isi novel di kofer belakang. Novel ini menceritakan tentang gigihnya
seorang petarung melawan kejahatan di negerinya, Italia. Di bagian bawah kofer
depannya tertulis: National BestSeller. Akhirnya aku mengambil satu
serinya untuk ku baca.
Aku meletakkan
novel itu di atas meja di sisi lain tempatku mengerjakan tugas tadi. Sinar
mentari sudah tidak bersahabat. Terlalu kuat pancarannya, mengingat memang
sekarang sudah hampir setengah hari. Aku mengambil tasku di meja seberang, dan
meletakkan di kursi sisi kiriku sekarang. Ruang baca terlihat lebih lengang,
hanya ada dua mahasiswi sedang asyik dengan novel atau majalahnya.
Baru selesai
membaca beberapa lembar, tiba-tiba datang seorang wanita berkaca mata dengan rambut
hitam legam masuk ke dalam ruang baca dengan terburu-buru. Sepatu wedgesnya
beradu dengan lantai berkarpet menimbulkan irama bising tersendiri dalam ruang
baca yang lengang. Namun ia tidak memerdulikan sekitarnya yang merasa terganggu.
Rambutnya yang dikuncir satu di belakang tampak bergoyang ke kanan dan kiri
seiring langkah kakinya yang lebar. Dia mendesah kesal dan menghempaskan
punggung ke sandaran kursi yang didudukinya, di sampingku. Aku meliriknya
dengan satu alis terangkat, “Tidak bisakah kau lebih santai? Sedikit saja. Ini
perpustakaan.”
“Ya! Aku tahu itu.
Maaf kalau terganggu, aku hanya tidak bisa mengendalikan emosi. Aku cuma
butuh—”
“Novel untuk
hiburan?” tebakku tak sabaran.
“Ya! Tepat
sekali. Tunggu sebentar,” ia meletakkan tasnya di kursi, kemudian beranjak
menuju rak-rak kumpulan novel.
Aku lanjut
membaca novel di hadapanku yang baru saja sempat terpotong.
Beberapa
menit kemudian. . . .
“Hai!” si wanita tadi menepuk pundakku.
“Ya?”
pandanganku langsung tertuju pada wanita berkaca mata yang langsung duduk si
sampingku, “Wow! Penggila novel juga rupanya. Novel apa saja itu? Kau akan
meminjam semuanya?”
Ia
meletakkan 5 buah novel yang ia tumpuk jadi satu, “Ini, kelimanya seri dari
novel Assassin’s Creed. Aku suka novel semacam ini,” ia membetulkan posisi
duduknya, “ ehm maksudku, aku suka novel-novel fiksi. Setidaknya itu lebih
bagus daripada novel roman yang endingnya begitu-begitu saja.”
“Sepertinya
kita punya pemikiran yang sama. Aku juga suka novel fiksi, misteri,
petualangan.”
“Wah,
aku punya banyak sekali novel genre itu. Kalau kau sempat, kau boleh
berkunjung ke apartemenku,” ia tersenyum ramah, “Ya ampun! Kita terlalu banyak
mengobrol sampai lupa berkenalan,” kemudian ia menjulurkan tangannya, “Namaku Cristina.”
Aku
tertawa menyadari hal itu. Aku ikut meraih telapak tangannya, “Namaku Claudia
Nemore. Panggil saja, Claudia. Ohya untuk tawaranmu, bagaimana kalau sekarang
saja? Kalau kau tidak ada jadwal kuliah sih.”
“Kebetulan
aku tidak ada jadwal kuliah sekarang, docento ospite tiba-tiba
mengalihkan jadwalnya besok siang. Tapi, tunggu aku selesai mendaftar buku yang
hendak aku pinjam ini ya,” ia melirik tumpukan novelnya, “kau tunggu di sini
dulu.”
“Aku ikut denganmu, novel satu ini menarik untuk dibaca.” Aku tersenyum sambil mengangkat novel yang memiliki tebal sekitar 8 cm itu.
“Aku ikut denganmu, novel satu ini menarik untuk dibaca.” Aku tersenyum sambil mengangkat novel yang memiliki tebal sekitar 8 cm itu.
“Assassin’s
Creed juga rupanya. Seri pertama.” Tangan kirinya menjinjing tas
kuning-kecoklatannya.
“Ya,
tepat sekali,” aku mengalungkan tas domoku di samping, “Ayo berangkat.”
“Senang
berkenalan denganmu, Claudia. Memang saat kita memiliki pemikiran yang sama,
pertemanan jadi semakin asyik.”
“Aku
juga senang berkenalan denganmu, Cristina. Kita bisa saling berbagi soal
hiburan kecil ini. Si novel fiksi.”
Sambil
berjalan menuju penjaga perpustakaan, aku dan Cristina kembali tertawa bersama.
Entahlah, kenapa aku bisa secepat itu berkenalan dekat dengan seseorang.
Mungkin apa yang pernah dikatakan teman-teman persoal kharisma yang mudah
membuat seseorang tertarik memang benar.
***
“Astaga! Ini
ruangan khusus novel-novel?” aku tertegun memandang ke sekeliling ruang dengan
rak-rak yang tersusun rapi.
“Tidak.
Khusus novel, ada di sebelah kananmu. Sisanya kitab-kitab hukum, Undang-Undang,
peraturan-peraturan di negeri Pisa ini. Semua tentang hukum.” Ia menunjuk
rak-rak di sebalah kiri dan depanku. Memandangnya dengan rasa kagum.
“Cris,
mahasiswi jurusan hukum?” aku bertanya apa yang begitu saja ku simpulkan.
“Tepat
sekali! Semester enam. Aku sangat mencintai hal yang berbau hukum.” (nakhitadiantum.blogspot.com) Lagi-lagi
ia tertawa, mempertontonkan barisan gigi putihnya yang rapi.
“Wow,
ternyata senior.”
“Loh?
Kau semester berapa, Claudia? Jurusan apa?”
“Semester
empat, jurusan Kimia. Aku juga mencintai kimia sepenuh hatiku,” aku juga ikut
tertawa, “Sepenuh hatiku? Hiperbola.”
“Oh,
jadi Claudia masih semester empat ya?”
“Iya,
kak.” Aku mengedipkan sebelah mata.
“Oh.
Ayo kamu mau pilih novel yang mana?” Cristina berjalan menuju rak-rak novel,
dan aku mengekor di belakangnya.
...I’m
at the payphone trying to call home, all of my change—
Tiba-tiba
handphone Cristina berbunyi, “Iya, Halo?.....Iya tidak apa-apa.
Bagaimana tugasnya?.....Oh jadi masih belum selesai?.....Mau dikerjakan bersama?
Boleh! Kebetulan aku juga tidak sendiri di sini. Ohya, titip 2 special pizza
ya?.....Oke. See you.”
Telepon
ditutup.
“Temanku
akan datang ke sini. Ada tugas yang harus diselesaikan. Dia bilang dia
membutuhkan perpustakaan miniku.” Ia menjelaskan.
“Oh? Apa
aku mengganggu?” aku menggigit bibir bawahku, merasa canggung kalau-kalau
kedatanganku merepotkan.
“Claudia,
kau tidak mengganggu sama sekali. Tenang saja, anggap rumah sendiri. Temanku
yang satu itu pasti tidak akan keberatan kalau harus kedatangan satu tamu baru.
Dia teman seperjuanganku di jurusan hukum, sama-sama semester enam,” ia bercerita
sambil tetap asyik memindai novel yang baru saja ia ambil di salah satu baris
raknya, “dia juga sahabat baikku.”
“Sahabat
baik? Oh,” aku mengambil sebuah buku dari baris ke-5. Aku memilih satu novel
dengan judul yang menarik Lost in The Jungle, “aku sudah menemukan
sebuah novel, kak.”
“Oh,
itu? Pilihan yang bagus untuk mengerti arti sebuah persahabatan,” Cristina
meninggalkan ruang perpustakaan mininya. Aku tetap saja mengekor kemanapun si
‘tuan rumah’ pergi, “Ayo ke ruang tamu.”
Ruangan
bercat biru tua ini bisa dibilang cukup luas. Selambu biru laut membuat ruang
tamu apartemen ini menjadi semakin mewah. Hampir seluruh lantainya dilapisi
karpet yang halus. Sofa dengan design Italia klasik diatur hingga membentuk
huruf ‘U’. Tepat di hadapan sofa bagian tengah terdapat LCD TV 21 inchi. Di
sudut ruang terdapat sebuah meja persegi kecil dengan beberapa figura foto di
atasnya. Foto Cristina bersama ibunya, ada juga fotonya bersama keluarga besar. Aku
memicingkan mata melihat foto Cristina bersama seorang lelaki, terlihat begitu
akrab. Oh, mungkin kekasihnya.
Ting
tung ting tung. Suara bel
mengagetkanku.
“Iya, tunggu
sebentar.” Cristina meletakkan novel yang asyik dibacanya, kemudian sedikit
berlari membukakan pintu.
“Buonasera,
Cristina.”
Aku mendengar
suara seorang laki-laki di ujung pintu. Namun cerita yang tengah ku baca lebih
menarik daripada harus menoleh ke sumber suara. Oh, mungkin itu teman Cristina,
percuma saja aku juga takkan mengenalnya, batinku.
“Buonasera.
Silahkan masuk, maestro. Semoga kau tidak lupa pesananku.” Suara pintu
tertutup.
“Tenang saja
aku takkan lupa,” langkahnya semakin mendekat menuju sofa, “Hei, Cris, inikah
temanmu?”
“Ya, ampun. Aku
terlalu senang kau membawakan pizza untukku sampai lupa mengenalkannya padamu,”
Cristina meletakkan kotakan pizza di atas meja kaca di sampingku, kemudian
menepuk pundakku, “Adik, kenalkan ini sahabatku.”
Mau tidak mau, aku
menutup novel yang tengah ku baca dan meletakkannya sembarangan. Kemudian
menatap lelaki jangkung di hadapanku.
“Claudia...”
“Reno...”
Beberapa detik
aku dan Reno hanya saling menatap. Tak menduga akan bisa bertemu lagi sejak
sekitar seminggu lalu bertemu di sebuah halte.
“Jadi kalian
sudah saling mengenal?” suara Cristina memecah keheningan.
Catereno sudah
terlihat membaik. Lelaki berkulit kuning langsat dengan rambut model spike itu
menunjukkan senyumnya yang tulus dan menawan. Senyum yang terlihat aneh namun
tidak membosankan, “Kita sudah pernah bertemu sekitar 1 bulan yang lalu, di
sebuah halte di kawasan Florence, saat aku sedang menunggu—” matanya seolah
memberikan isyarat kepada Cristina bahwa ia sebenarnya tau.
“Lalu?”
Cristina menangkap isyarat yang diberikan Reno.
“Saat itu sudah
larut malam, hampir tidak ada taksi berhenti di sana. Kemudian aku bertemu
Claudia. Ia menawariku tumpangan kembali ke sini, San Gimignano. Aku sangat
berterima kasih atas kepeduliannya.”
Aku jadi
semakin bingung saja. Menunggu? Menunggu siapa?
“Oh, jadi
begitu?” pandangan Cristina beralih kepadaku, seolah meminta kepastian atas
cerita Reno.
“Benar, kak.
Kebetulan aku lewat jalur sempit itu. Aku memang tak terlalu suka gemerlap
lampu kota Florence.” Aku tersenyum sebisaku. Ya meskipun masih bingung dengan
isyarat di antara mereka.
“Sudahlah abaikan saja,” tangan kanannya mengibas
udara, “jangan bingung begitu.”
“Baiklah,” aku
mengambil kembali novel yang tadi sempat aku geletakkan begitu saja, “sebaiknya
kakak juga melanjutkan tugas yang tadi.”
“Iya iya, adik
kecil.” Catereno menyahut dan segera bergegas menuju ruang perpustakaan mini.
Kini ruang tamu
kembali lengang. Aku hanya bertemankan irama detik jam dinding yang berada
tepat di belakangku. Lembar demi lembar novel selesai ku baca. Tanpa terasa
sudah sampai pada halaman pengenalan Penulis. Akhirnya novel Lost in The Jungle
berhasil ku selesaikan. Ceritanya memang sangat menarik. Petualangan,
persahabatan, pantang menyerah, seluruhnya merupakan kisah nyata si penulis.
Aku membetulkan
posisi dudukku yang sedari tadi hanya membaca dengan kaki menekuk di depan
dada. Aku meluruskan kaki di atas sofa empuk warna kuning kecoklatan ini. Lampu
dari ruang baca masih tetap menyala terang. Aku sedikit melongok ke dalam
ruangan, ternyata Cristina dan Reno masih serius melanjutkan tugas kuliahnya.
Ku lihat jam dinding di belakangku, ternyata sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Pantas saja sudah sangat ngantuk, sebaiknya pamit pulang saja, batinku. Aku
beranjak dari sofa, meraih tas domoku yang ku letakkan di bawah meja tadi.
Melangkahkan kaki dengan enggan menuju ruang baca, hendak berpamitan.
“Permisi kak,”
aku berhenti sejenak, “aku pamit pulang dulu.”
Cristina dan
Reno serentak menoleh yang disusul dengan senyuman, “Pulang? Malam begini,
taksi sudah jarang. Tunggulah, tugas kita sebentar lagi selesai. Aku yang akan
mengantarkanmu,” Cristina mendahului.
“Cris, aku saja
yang akan mengantarkan Claudia. Kau istirahat saja di rumah. Ayo kita cepat
selesaikan tugasnya. Kasihan si adik kecil sudah mengantuk.” Reno terkikik ke
arahku. Entah mengapa, bukan kesal namun aku malah tersenyum.
“Yasudah kalau begitu,”
Cristina melirik ke arahku dan Reno bergantian, “Jangan-jangan, di antara
kalian, ada sesuatu yang—”
“Maksud kakak?” aku
merasa jatungku berdetak sedikit lebih cepat.
“Cris, sebaiknya kita
lanjutkan mengerjakan tugas,” Reno kemudian menyela.
“Dasar! Usaha
mengalihkan perhatian,” Cristina terkikik, kemudian lanjut asyik dengan
tugasnya.
Aku melirik ke arah
Reno yang saat itu sedang tersenyum ke arahku. Aku langsung menunduk dan ikut
tersenyum. Senyum itu, ia memiliki
senyuman yang aneh namun entahlah, ada perasaan ingin melihatnya lagi dan lagi.
“Sudah sana antarkan
Claudia. Tugasnya sudah hampir selesai, aku saja.” Tiba-tiba Cristina
mendapatkan sebuah ide entah darimana datangnya.
“Kalau kau tidak
keberatan dengan tugas itu, baiklah aku pulang sekarang.”
Aku tetap berdiri di
ambang pintu menunggu mereka selesai bicara.
“Tenang saja, bukan
masalah besar,” Cristina mengacungkan ibu jari kanannya, “Yang terpenting,
antarkan adik kecilmu itu,” lagi-lagi ia melirik ke arahku dan Reno bergantian,
dengan senyum yang dibuat-buat.
“Dengan senang hati.”
Reno memasukkan beberapa buku ke dalam
tasnya. Kemudian bergegas keluar dari apartemen Cristina setelah berpamitan.
Aku mengekor di belakangnya. Baru saat ini, aku merasa sangat kecil bila
disejajarkan dengan Reno yang memiliki tinggi sekitar 174 cm. Biasanya aku
terlihat sedikit lebih tinggi atau paling tidak, sejajar dengan teman sebayaku.
Di luar gedung
apartemen, terparkir mobil Lexus warna putih dengan sedikit modifikasi
pada tiap-tiap bagiannya. Aku baru sadar kalau itu adalah mobil Reno saat
lelaki di depanku itu menekan salah satu
tombol yang ada di kunci mobilnya, kemudian disusul (nakhitadiantum.blogspot.com) dengan terbukanya pintu
bagian depan. Modifikasi, batinku. Ia mempersilahkanku masuk terlebih dahulu,
kemudian menutup pintunya secara manual. Akhirnya ia benar-benar memastikan aku
selamat sampai di rumah. Perhatian kecilnya membuatku kagum.
***
7 Februari 2009
“Ini berawal dari
pertemuanku dengan 2 orang hebat yang akhirnya memotivasi diriku sendiri untuk
selalu berbuat lebih baik lagi. Bermula dari pertemuan yang tidak disengaja,
sampai akrab karena hobi yang sejenis. Pertemuan yang menyatukan kami bertiga
dalam sebuah persahabatan.
Sekitar 3 bulan
lalu, aku dan kedua kakak seniorku merancang sebuah liburan ke negeri Eiffel,
Prancis. Kami berencana menghabiskan pergantian tahun di sana. Ternyata apa
yang kami rencanakan berjalan sukses tanpa ada kendala yang berarti. Namun
akhirnya kami memutuskan untuk menunda kepulangan kami ke negeri sendiri
dikarenakan pesona Eiffel yang luar biasa. Tepat tanggal 2 Januari 2009, kami
mengukuhkan persahabatan kami di puncak menara tertinggi di Prancis.
Aku baru sempat
menuliskan cerita ini sekarang dikarenakan tugas berlebih yang selalu
mengejarku, sehingga aku hanya punya sedikit kesempatan.
Persahabatan 3
makhluk berlainan sifat ini memang begitu hebat,namun aku terkadang merasa
bersalah. Karena diam-diam aku merasakan sesuatu yang berbeda saat bersama
Catereno. Segala perhatiannya membuatku merasan nyaman. Sampai aku merasa
perasaan ini tidak sepihak. Perasaan selalu ingin berjumpa, khawatir, dan yang
kusadari paling akhir adalah rasa sedikit tergores saat melihatnya bersama
teman wanita lain. Ah, konyol sekali.
Catereno adalah
sosok yang menarik dan bagaimanapun aku tidak bisa mengelak dari perasaan ini.
Claudia.”
Aku menutup file ini
dan melanjutkan tugas Kimia.
11 Februari 2009
Pagi yang cerah di
bulan Februari membuat semangatku terbakar. Aku memiliki janji dengan dosen
Kimia hari ini untuk mengonsultasikan tugas akhir yang ku buat. Januari lalu,
salah satu dosen Kimia terbaik di kampus mengirim surat yang isinya aku dan
beberapa temanku yang lain boleh mengikuti sidang tugas akhir pada bulan Juli
karena nilai yang diperoleh memungkinkan untuk lulus lebih cepat. Itu artinya
aku bisa menghemat 2 semester dan bisa lulus bersama kedua sahabatku yang
hebat. Aku belum menceritakan persoal surat ini kepada mereka. Biarkan ini
menjadi kejutan.
Ternyata
konsultasi berjalan lancar daripada yang ku duga sebelumnya. Akhirnya aku
keluar dari ruangan dengan senyum yang mengembang.
Aku
masih belum berniat pulang. Akhirnya aku melangkahkan kaki ke perpustakaan
kampus untuk sekedar membaca beberapa buah novel sebagai hiburan atau meminjam
beberapa buku sebagai tambahan referensi tugas akhir. Saat aku hendak memasuki
ruang baca, aku melihat kedua sahabatku sedang mengobrol di sana, Reno dan Cristina.
Awalnya aku berniat menyapa, namun ku urungkan niatku saat menyadari
perbincangan mereka yang serius. Aku bersembunyi di balik rak buku paling
belakang, yang paling dekat dengan tempat mereka duduk. Perbincangan di antara
mereka membuatku tertarik.
“Sebenarnya
aku sudah mengira saat kita berkumpul di apartemenku untuk yang pertama
kalinya,” giliran Cristina menyahut.
“Saat
itu aku sudah mulai tertarik padanya. Aku suka bagian darinya yang tak pernah
menjadi orang lain, maksudku, aku suka caranya menjadi dirinya sendiri.”
“Iya.
Dia juga tidak pernah menyembunyikan apa yang ingin ia katakan.” Cristina
menyetujui.
“Tanpa
sadar, Claudia membuatku mengaguminya. Tapi, Cris. Aku masih belum bisa
melupakan Maria.”
Pernyataan
itu membuatku tak tau harus merasa senang atau sedih. Senang karena perasaan
ini memang tak sepihak, atau sedih karena, siapa Maria itu?
“Kau
masih saja mengingatnya. Mantan kekasihmu itu sudah tidak memerdulikanmu,
tidakkah kau merasa? Lihat saja, ia tak menepati janji di halte setahun yang
lalu. Kenapa harus kau perjuangkan dia lagi? Aku tak terlalu suka menyadari bahwa kau masih berlari di
tempat yang sama. Tidakkah kau melihat kesempatan di mata Claudia?” nada suara Cristina
sedikit lebih tinggi.
Oh,
sekarang aku mengerti. Jadi saat Reno katakan sudah menunggu lama di halte
setahun yang lalu, ia sedang menunggu Maria, mantan kekasihnya? Menyadari hal itu, tiba-tiba jantungku
berdetak sedikit lebih cepat. Hembusan nafasku kini berubah menjadi hembusan
keputusasaan. Tanpa terasa, air di mataku menggenang yang kemudian terjun
bebas. Satu. Dua, dan tiga tetes.
“Sejak
Claudia datang dalam hariku, aku merasa sudah berhasil terbang dengan ia
sebagai sayapku. Bahkan aku merasa, aku takut kehilangannya. Namun, saat pesta
ulang tahun kemarin, yang sekaligus kita rayakan di puncak Eiffel. Yah,
sepulang dari Prancis, Maria datang ke rumahku membawa sebuah tart bertuliskan
‘Happy 19, my Cate’. Saat itu aku merasa, seperti terhempas lagi ke titik nol.
Aku mengingat Maria lagi. Aku bingung, Cris.”
Aku
tak sanggup mendengar perbincangan mereka selanjutnya. Akhirnya ku urungkan
niatku membaca novel dan meminjam beberapa buku sebagai referensi. Aku pulang
ke rumah dan mengunci diri dalam dimensi lain yang siapa pun takkan mau.
Kesedihan.
***
11 Maret 2009
Sudah sebulan aku
memutuskan untuk menyendiri. Tidak menghubungi kedua sahabatku. Aku menyibukkan
diri dengan tugas akhir yang masih belum terselesaikan. Tapi kalau
dipikir-pikir lagi, tingkahku yang seperti ini terbilang kekanak-kanakan. Yang
seperti ini apa bisa menyelesaikan masalah? Ah, entahlah. Aku hanya ingin
menyendiri, bukan menghindar, itu saja. Lagipula, sejak beberapa bulan ini,
Reno jarang meghubungiku atau sekedar ‘say Helo’. Mungkin dia juga butuh menenangkan
diri.
Aku meraih handphoneku
berniat mengirim pesan singkat kepada Cristina. Menanyakan bagaimana kabarnya
dan meminta maaf atas kelancanganku mendengarkan perbincangannya di
perpustakaan.
Ada pesan masuk. Cristina bilang ia
baik-baik saja. Dan untuk perbincangan itu.... Ia menanyakan sejauh mana aku
mendengarkannya. Kemudian aku menjelaskannya via telepon. Ia memang sahabat
yang baik. Ia bilang akan berusaha membujuk Reno untuk melupakan Maria,
lagipula ia memang tidak terlalu suka. Ia menyarankan untuk tidak menghubungi
Reno dulu dalam waktu dekat ini karena itu saat sibuk-sibuknya ia dan Reno
mengerjakan tugas akhir.
Ya. Aku mengerti, aku paham. Aku
akan menunggu sampai waktunya tepat. Aku juga akan fokus menyelesaikan tugas
akhirku. Maaf, aku masih belum bisa menceritakan kepada kalian soal kelulusanku
yang mendahului teman sebayaku, aku bicara dalam hati.
08 Juli 2009
Akhirnya aku resmi
menjadi lulusan terbaik Jurusan Kimia tahun ini. Syukur, dan aku memperoleh
beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Aku memilih Netherland, negeri
kincir angin itu sebagai tempat aku menuntut ilmu. Aku juga mendengar kabar
dari Cristina bahwa ia dan Reno juga memiliki nilai yang cukup tinggi dalam
Jurusan Hukum. Dan banyak beasiswa yang mereka dapatkan.
Tanpa terasa sudah 4 bulan lamanya
hilang komunikasi dengan Reno. Sampai sekarang masih belum ada kabar darinya
langsung. Padahal, satu minggu lagi aku sudah harus berkemas dan bertempat
tinggal di Netherland. Aku hanya percaya, seandainya ia merindukanku, pasti ia
akan datang. Aku menuliskan sebuah surat untuknya.
Satu minggu kemudian. . . .
Saat aku hendak
memasuki ruang tunggu bandara, telepon berdering. Ternyata dari bibi, pembantu
di rumah, ia mengatakan bahwa baru saja datang seorang lelaki dan perempuan yang
mengaku bernama Reno dan Cristina menanyakanku. Namun bibi hanya memberikan
surat yang sudah aku titipkan, tanpa menjelaskan kemana aku pergi. Ada perasaan
lega di sini, ternyata ia mencariku.
Semoga
isi surat itu membukakan segalanya.
Pemberitahuan bahwa pesawat menuju
Belanda akan segera berangkat, aku segera melaju ke pintu masuk yang sudah
diatur oleh petugas bandara. Selamat tinggal, Italia. Terima kasih atas segala
yang pernah disuguhkan.
Aku
datang, Belanda.
***
Reno:
di sini
aku terduduk, beradu muka dengan portable kesayanganku. seperti malam-malam
biasanya, mengurung diri dalam ruangan berselambu merah muda. Duduk memeluk
lutut dalam dimensi yang termarjinalkan. Inilah aku. Dan di sinilah aku berada.
entahlah aku harus
menyebutnya apa. Kesalahan? jika iya, apa ini kesalahanku? jika bukan, apa ini
benar dan seharusnya memang begitu? oh, lagi dan lagi pertanyaan itu
menggantung begitu saja, tanpa jawaban.
aku mengerti untuk siapa
sebagian hatimu sekarang. aku paham betul, melupakan masa lalu memang tak
semudah saat menerima orang asing, seperti diriku. tapi aku mohon untuk saat
ini saja, izinkan aku bersikap egois. untuk saat ini saja aku ingin melampaui
batas. saat ini saja, aku ingin mengabaikan apa yang mungkin sudah ditakdirkan.
aku mengagumimu sebagaimana
aku mengagumi Kimia. aku mementingkanmu sebagaimana aku mementingkan studiku
agar aku bisa lulus mendahului teman sabayaku, dan bisa berdiri sebagai lulusan
terbaik di sampingmu. maaf aku tidak menceritakan ini sebelumnya. melalui surat
ini, aku ingin mengungkapkan apa yang selama ini bersarang dalam 'sesuatu' yang
berdegup lebih cepat saat dirimu menemaniku. Langsung saja, aku mencintaimu....
aku melanjutkan studiku di
Netherland. aku mengambil beasiswa di sana. Seandainya hatimu sudah menjatuhkan
pilihan, dan itu aku, datanglah tepat saat aku berumur 22 tahun bersama Cristina.
Di menara yang sangat kau impikan, Eiffel. Di tempat yang sama saat kita
mengukuhkan sebuah persahabatan.
Besok adalah hari terakhirku menikmati fajar di Italia.
Ini untukmu, 20-52-75-7-8
14/06/2009
claudia,
Semangat
pagi yang sudah ku susun tiba-tiba runtuh begitu saja saat menerima sepucuk
surat dari wanita paruh baya di rumah Claudia. Wanita yang mengaku pembantu di
rumah Claudia itu mengatakan telah dititipkan surat dari majikannya.
“Cris,
kita sudah terlambat.” Aku merasa seperti terhempas begitu saja. Aku
menyalahkan kebodohanku yang tidak bisa memilih dengan cepat.
“Tidak
ada kata terlambat, simak baik-baik surat itu. Bukankah kau masih punya
kesempatan? Jangan sia-siakan 8 Oktober 2012 nanti. Di menara Eiffel. Yah, kalau
kamu memang sudah menjatuhkan pilihan.” Kata-kata Cristina benar. Aku masih
punya kesempatan, batinku.
“Aku
sudah memilih, Cris.” Aku berkata dengan kemantapan hati saat ini.
“Syukurlah
kalau begitu,” Ia terdiam sejenak, kemudian meraih surat dari genggamanku,
menyisakan amplopnya saja, “Tunggu sebentar. 20-52-75-7-8. Apa maksudnya?”
“Hal
itu juga yang ingin aku tanyakan.”
“Hei,
tunggu sebentar,” ia meraih amplop yang tersisa di tanganku, “Oh, aku tau
sekarang. Coba kita lihat angka-angka itu dalam tabel periodik unsur ini. Apa
kira-kira yang akan kita temukan.”
Aku
mencari angka-angka itu dalam tabel periodik unsur yang menjadi amplop suratnya
itu. 20, Ca. 52, Te. 75, Re. 7, N. 8, O.
“Astaga!
Catereno. Itu namaku,” aku terkesan atas kode yang baru saja terpecahkan.
“Dia
benar-benar mengagumimu sebagaimana ia mengagumi Kimia”
Aku
hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Tidak tau harus berkata apa, “Omong-omong,
kau jadi mengambil beasiswa hukum di Belanda kan?” tanyaku was-was.
“Ya.
Kenapa, Ren?”
“Aku
titip dia. Setidaknya, aku meminta kabari aku bagaimana keadaannya seminggu
sekali. Aku mohon”
“Ya.
Tenang saja, kawan.” Senang rasanya melihat Cristina tersenyum begitu.
“Aku
melanjutkan studiku di Prancis. Aku janji aku akan datang, 8 Oktober 2012. Tapi
sebelumnya, aku akan fokus dengan studiku. Aku akan memastikan dulu, saat itu
aku sudah menjadi orang hebat dan aku tidak akan mengecewakan Claudia lagi.”
Aku mengatakannya sungguh sungguh.
“Aku
mengerti, kawan. Meskipun kita terpisahkan jarak yang cukup jauh, kita akan
tetap bersahabat. Satu sahabat, satu cinta, berbagai asa.”
***
Waktu
itu relatif. Suatu saat, waktu akan terasa berjalan sangat lamban. Namun di
lain sisi, waktu kadang tanpa terasa sudah melaju begitu saja. Seperti
sekarang. Rasanya baru kemarin, aku datang di negeri kincir angin ini,
meninggalkan 2 temanku. Tanpa terasa, sudah 3 tahun aku menuntut ilmu dan
berhasil mengambil gelar ahli Kimia. Juga tanpa terasa, besok usiaku sudah
menginjak 22 tahun.
Aku
bergegas menuju bandara setelah mengemas beberapa pakaian yang aku butuhkan
untuk menginap beberapa hari di Prancis. Aku sudah memesan sebuah hotel yang
lokasinya tidak terlalu jauh dari menara Eiffel sekitar satu bulan lalu. Aku
juga sudah mempersiapkan diri, kalau kalau hal terburuk terjadi: Reno memilih
untuk tak datang.
07
Oktober 2012
Aku melihat jam
dinding di kamar hotel yang sudah menunjukkan tepat pukul 10 malam. Aku
langsung bergegas setelah sebelumnya sempat merias muka sebisaku. Aku suka
kealamian, lagipula aku juga tak terlalu ahli bersolek seperti wanita-wanita
lain. Aku segera meluncur menuju menara Eiffel dengan mengendarai taksi karena
memang tak jauh dari hotel tempatku menginap terdapat sebuah halte.
Meskipun
aku sudah pernah ke sini sebelumnya, namun tetap saja tertegun, kagum, saat
melihat menara yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga kuat melawan angin
ini. Aku memutuskan untuk berkeliling sebentar, mengambil beberapa foto (nakhitadiantum.blogspot.com) dari
berbagai sisi di menara ini.
Akhirnya
pukul setengah 12 aku berada di tempat yang sama, saat sekitar 3 tahun lalu aku
berdiri di sini bersama mereka—Cristina dan Catereno. Bedanya, sekarang aku
datang sendirian, menunggu mereka. Ya, kalau mereka datang.
Sudah
setengah jam. Ini sudah tanggal 08 Oktober dan aku masih tidak bisa merasakan
kehadiran mereka. Jujur saja, aku mulai khawatir. Namun bersusah payah aku
menghibur diri sendiri. Mungkin aku akan menunggu 1 jam lebih lama lagi di
sini, batinku.
Saat
ini waktu bertindak curang padaku. Seolah ia memperlambat setiap perpindahan
lengan detiknya. Membua waktu terasa lebih awet dan lama. Kenapa satu jam
menunggu di sini seakan terasa lebih lama daripada satu jam melakukan jogging
mengitari lapangan basket? Aku melihat melihat jam tanganku. 01:04. Tepat 1
jam, aku menunggu di sini.
Dan
aku masih tidak bisa menemukan kedatangan mereka.
Akankah
mereka ingat hari ini dan datang? Kenapa aku bisa begitu yakin, Reno akan
menjatuhkan pilihan, dan itu aku? Bukankah masih banyak kemungkinan yang bisa
terjadi? Bagaimana kalau akhirnya Reno memilih Maria? Atau memilih seseorang
yang lain? Aku memang sudah mempersiapkan segala kemungkinan terburuk, namun
tetap saja aku tidak bisa membendung kesedihan yang tiba-tiba menyeruak saat
aku tau, mereka tak datang.
Ini
tentang harapan yang putus di tengah jalan. Tentang bagaimana perihnya perasaan
yang tak terbalas. Terkadang aku menyesal, telah memupuk perasaan ini dalam
diriku. Perasaan yang awalnya aku yakini bukan perasaan sepihak. Aku yakin
bahwa ia juga merasakan hal yang aku rasakan sekarang. Membiarkan rindu terus
menggerogotiku seperti kanker bertahun-tahun. Ternyata aku salah, mungkin dia
belum sejauh apa yang ku rasakan. Namun aku telah banyak belajar dari
wanita-wanita yang lebih tegar daripadaku. Mereka yang lebih tegar mengucap
kata sabar daripada sesal. Aku menyeka air mata yang terus mengalir dari kedua
mataku.
Mau
bagaimana lagi? Mungkin ini memang jalan yang sudah Tuhan pilihkan untukku.
Pasti ada maksud lain di balik ini. Aku menyudahi penantianku sekarang. Selamat
Ulang Tahun untuk diriku sendiri. Kita bertiga mungkin memang selamanya akan
bersahabat.
“Claudia...”
sebuah suara mengagetkanku. Aku lekas menghapus air mata yang masih tertinggal
di ujung pelupuk mataku. Kemudian dengan enggan aku berbalik.
Aku
sungguh terkejut melihat seorang lelaki yang sudah sangat ku kenal berdiri di
depanku. Seorang wanita berambut hitam panjang sedang berdiri di sampingnya.
Raut mukanya tidak banyak berubah. Sudah tentu aku mengenalnya. Namun aku tidak
tau harus berkata apa. Terlalu shock dengan
siapa yang berdiri di depanku.
“Claudia...”
si wanita memelukku dengan erat.
Aku menyambut pelukannya dan tanpa
sadar menitikkan air mata lagi, “aku kira kau tak akan datang, kak.”
“Maafkan
atas keterlambataan kami ya Claudia. Kami tidak bermaksud untuk membuatmu
menunggu,” Cristina coba menenangkanku, “aku sangat merindukanmu, adik kecil.”
Setelah
cukup lama, akhirnya aku saling melepas pelukan dengan Cristina.
“Claudia,”
lelaki yang sedari tadi hanya diam saja itu kemudian mengeluarkan serangkai
bunga mawar merah dari balik badannya, “Selamat ulang tahun, adik kecil. Semoga
kau mendapat apa yang kau inginkan,” ia tersenyum, mempertontonkan barisan
giginya yang rapi.
Aku
terkejut dan sekaligus merasa sangat senang. Aku menerimanya dengan perasaan
haru, “Terima kasih, kak Reno.”
“Selamat
ulang tahun, cantik.” Cristina menyusul, ia juga mengeluarkan sebuah kotak
coklat dari dalam jaket woolnya.
“Terima
kasih, teman.” Aku benar benar ingin menangis, terharu.
Plok plok
Belum
rasa terkejutku usai, sudah disusul dengan keterkejutan yang lain. Malam ini
benar-benar penuh kejutan. Tiba-tiba Catereno bertepuk dua kali seolah ingin
memberi isyarat. Dan tiba-tiba 2 orang membawakan sebuah kursi dan sebuah
gitar. Apa yang akan ia lakukan?
“Jangan
terkejut. Dengarkan saja ia bernyanyi,” Cristina tersenyum kepadaku. Kemudian
ia melangkah menjauh. Ia kini berdiri di samping Catereno yang sedang duduk
sekitar 3 meter di depanku.
“2
lagu ini aku persembahkan untuk seorang wanita yang selalu menjadi semangatku.
Sekarang ia berdiri tepat di hadapanku. Claudia,” Reno mengucapkannya dengan
sungguh-sungguh sebelum akhirnya mulai bernyanyi.
Aku
tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagia ini. Aku bukan seorang yang ahli
membendung air mata, saat sedih atau senang. Di sinilah aku, dibuat menangis
terharu oleh seorang yang aku sayangi. Serasa menjadi wanita yang paling
berbahagia saat dinyanyikan lagu ‘The Way
You Look at Me’ dan diakhiri lagu ‘Endless Love’.
Reno
menyelesaikan lagunya, kemudian beranjak dari kursi menuju ke arahku, “Aku sudah
menjatuhkan pilihan, Claudia.”
“Syukurlah,
kau sudah jauh lebih tegas sekarang.”
Ia
mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari saku jasnya. Saat ia
membukanya, aku melihat dua buah cincin yang memiliki ukuran berbeda. Yang satu
nampak lebih kecil dari lainnya
“Jadilah
wanita yang berdiri di sampingku di altar nanti,” ia menekuk lutut-lututnya
sedemikian rupa hingga tingginya sekitar separuh dari tinggiku, “Aku
mencintaimu.”
Aku
mendengar suara riuh rendah tepuk tangan orang lain yang tanpa ku rasa sudah
banyak bergerombol di sekitarku dan Reno membuatku malu, sekaligus terharu.
“Terima
kasih,” aku memegang lengannya dan sedikit menariknya ke atas agar ia berdiri,
“Ya. Aku juga mencintaimu.” Aku memeluknya erat. Menangis terharu di pelukannya.
Ia
membalas pelukanku sambil berbisik, “jangan menangis lagi. Aku tak akan pergi
meninggalkanmu.”
“Terima
kasih banyak, Ren,” ada satu tangan lagi yang memelukku dari samping. Ternyata
Cristina, “terima kasih, semuanya.”
Malam
ini sangat penuh dengan kejutan. Di puncak menara Eiffel yang takkan mungkin
terlupakan begitu saja seumur hayat. Aku merasa sangat berbahagia memiliki
mereka, 2 orang yang sangat hebat. Di sinilah, di puncak menara ini, aku
mengukuhkan sebuah persahabatan, dan 3 tahun setelahnya, saat kami sudah
benar-benar menjadi orang sukses, seseorang yang ku tunggu begitu lama akhirnya
mempersuntingku.
Ya.
Tuhan pasti punya rencana mengapa kita akhirnya dipertemukan, bertiga.